Kekristenan bersama-sama dengan para kaum humanis dan pejuang kemanusiaan perlu juga bekerja sama memperhatikan masalah ini secara serius. Gereja sebagai “agen perubahan sosial” dan “referensi sosial” masyarakat dan dunia perlu mengingat mandat yang diberikan Tuhan terutama mandat sosial budaya. Namun gereja tidak boleh kehilangan arah dalam melakukan tugasnya dengan meninggalkan prinsip-prinsip Alkitabiah, terutama dengan mempertimbangkan kehendak Allah bagi seluruh umat manusia. Beberapa prinsip Alkitab yang dapat dijadikan panduan adalah sbb :
1. Gambar Allah Sebagai Faktor Persamaan Derajat
Dalam perspektif Kristen, manusia tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi dalam kemanusiaannya. Istilah “kemanusiaan” dapat dimengerti sebagai kategori abstrak, namun dapat pula dimengerti secara aktual. Secara aktual disebut sebagai martabat. Martabat adalah pemberian Tuhan ketika manusia pertama kali diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Jadi, gambar Allah adalah dasar kesamaan kemanusiaan setiap insan.
Kitab suci mendeklarasikan manusia pada awal penciptaannya "menurut gambar dan rupa Allah" (Kej 1: 26-27) sebagai merupakan dasar kesatuan manusia sepanjang sejarah. Gambar Allah tidak pernah hilang dan tidak dapat hilang dari dalam diri manusia. Jadi sebagai faktor pembentuk esensi manusia tersebut tidak dapat ditiadakan oleh dosa sekalipun, sebab “tanpa gambar Allah, manusia bukanlah manusia lagi.” Dalam Antropologi perspektif kristiani, prinsip gambar Allah tersebut “mencirikan manusia dalam kepribadian, moralitas, kerohanian, dan tanggung jawab moral.” Gambar Allah memang telah dirusak oleh dosa, namun tidak hilang dan gambar Allah itu ada sepanjang sejarah manusia di muka bumi. Antropologi Kristiani lebih lengkap karena disusun atas dasar prinsip ini. Dipahami bahwa karena dosa masuk ke dalam kehidupan manusia, maka manusia mengalami kerusakan martabat, bahkan kehilangan martabat oleh karena kelakuan manusia lain, tetapi nilai kemanusiaan yang bermartabat tetap ada secara ontologis.
Persamaan derajat ini berlaku sampai kapanpun, karena kategori (abstrak) martabat tersebut adalah sumber dari martabat-martabat turunan-diferensial yang hadir dalam diri manusia pada masa kini. prinsip kemartabatan yang tunggal ini meletakkan manusia itu sama derajatnya, karena sesudah penciptaan pertama tersebut tidak ada penciptaan manusia lagi. Kemajemukan manusia akibat “ramifikasi” (pencabangan) keberadaan manusia setelah Adam terjadi di dalam prinsip gambar dan rupa Alah juga.” Jadi perbedaan ras, agama, golongan, dan geografis tidaklah pernah dapat mengurangi atau menambah kemartabatan suatu ras. Manusia tidak dapat menciptakan martabat, karena kategori ini bersifat abstrak. Martabat hanya dapat dibicarakan dan dihayati, namun bukan berarti penghayatan seseorang atas suatu martabat dapat mengubah hakekat martabat itu sendiri. Dalam filsafat moral umum juga diakui bahwa kesadaran akan martabat manusia yang bebas dan otonom adalah “syarat mutlak pengakuan hak-hak alamiah manusia.”
Selain persamaan derajat, martabat juga memisahkan derajat manusia dengan hewan dan ciptaan yang lain. Martabat manusia sama semua, tidak tergantung pada pekerjaan dan penilaian manusia. Namun yang dapat berubah adalah penafsiran manusia tentang martabat itu sendiri. Dari dalam diri manusia, martabat adalah sesuatu yang tetap pada esensinya. Dosa menjadikan pengertian dan perilaku manusia terhadap martabat menjadi rusak. Jadi, perbedaan-perbedaan individual tidak mengindikasikan bahwa Allah menyetujui ”stratifikasi sosial” dan hirarki kehidupan di dalam masyarakat. Perbedaan itu dilakukan agar manusia dapat saling tolong- menolong di dalam semangat kesamaan derajat. Dengan demikian sosiolog Kristen patut menyimpulkan bahwa stratifikasi sosial bukanlah “hukum” tingkah laku manusia, tetapi hasil dari kejahatan akibat dosa manusia. Jadi daripada mengeluarkan “sistem ketidaksamaan sosial” lebih baik menganjurkan “sistem kesamaan sosial.”
2. Penciptaan Ilahi: Sumber Kesatuan Umat Manusia.
Pada dasarnya manusia berasal dari keturunan yang sama, yakni Adam dan Hawa. Bagi evolusionis memang asumsi di atas tidak dapat diterima. Mereka menganggap manusia adalah produk kebetulan dari makhluk tingkat rendah. Dengan kata lain manusia bukan ciptaan khusus dari Allah, tetapi hanya binatang tingkat tinggi dari hasil evolusi.
Fungsi Kej. 1 menjadi sangat penting bagi sejarah manusia sampai saat ini, sebagai peristiwa historis yang berimplikasi pada pengertian HAM hingga pada abad ke 20 ini. Filsafat modern selalu bertolak pada jenis manusia yang berevolusi dari suatu materi tertentu secara kebetulan. Mereka kebingungan, karena merasa tidak ada penyebab dan tujuan dari keberadaan manusia tersebut. Manusia ada, karena memang manusia sudah ada dengan sendirinya, titik. Kesulitan dalam menjawab dari manakah asal materi yang menjadikan manusia tersebut? Apakah berada secara kebetulan atau berada dengan sendirinya? Kalau jawabnya “Ya” berarti semakin tidak masuk akal teori tersebut.
Manusia sepanjang zaman adalah keturunan manusia pertama yang diciptakan Allah. Doktrin penciptaan adalah dasar kesatuan umat manusia di sepanjang zaman dan tempat. Jadi berdasarkan Kis 17:26, semua orang berada dalam darah dan keturunan ciptaan Allah. Oleh sebab itu, tidak ada superioritas dan inferioritas antar umat manusia dan alasan kecurigaan rasial tidak dapat dipakai untuk mengunggulkan superioritas suatu ras. Meskipun mereka mengaku bangsa beradab, apa yang pernah dilakukan oleh Nazi Jerman di masa lalu, dengan superioritas “ras Aria” adalah suatu maksud yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam keadaan tidak berperikemanusiaan bangsa Aria pun tidak lebih dari seekor hewan bagi yang dianggapnya hewan. Peringatan homo homini lupus dari Thomas Hobbes merupakan suatu peringatan bagi kebangkitan Neo naziisme di negara maju. Juga peringatan bagi rezim-rezim lain di dunia ini yang mendasari diri pada paham fasisme. Fasisme dan juga pemerintahan negara totaliter telah menurunkan manusia ke dalam derajat “setengah manusia’ atau “manusia minus” sehingga tindakan tersebut dapat berarti tindakan tidak berperikemanusiaan.
Prinsip ketunggalan dari seluruh ras manusia di seluruh muka bumi adalah salah satu dasar dari hakekat HAM yang harus disadari dan diperjuangkan. Ketunggalan asal ras manusia membuat manusia sadar akan hak-hak kebebasan sebagai kebutuhan alami/ azazi yang sama. Pada dasarnya manusia ini bersaudara secara universal dalam penciptaan Allah, yakni dari keturunan Adam. Persaudaraan itu dibedakan dan dibentuk Allah sesuai dengan tempat dan waktu pemeliharaan aktif Allah sepanjang zaman. Perbedaan-perbedaan sekunder tidaklah mengurangi atau menambah kemanusiaan seseorang atas ras tertentu. Kemanusiaan yang berdasarkan penciptaan tidak dapat berubah, karena itu bersifat niscaya dan apriori. Dan hanya Tuhan yang mengetahui kemanusiaan manusia yang sebenarnya.
3. Pertimbangan Antropologi Teologis Berdasarkan Kejadian 1
Antropologi Kristiani dimulai dengan asumsi, manusia adalah ciptaan Allah yang khusus dengan cara yang khusus dan dengan maksud khusus pula (Kej 1:26-27). Manusia diciptakan dari tanah dan ditiupkan nafas oleh Allah. Manusia berbeda dengan binatang dan ciptaan lain, karena diciptakan “menurut” gambar dan rupa Allah, sedangkan binatang diciptakan banyak “menurut jenisnya.” Manusia tidak dapat direduksi menjadi jenis, karena kata jenis merupakan kata imanen yang tidak memiliki kerangka acuan teologis yang transenden.”[8] Manusia pertama diciptakan dari tidak ada menjadi ada secara seketika, bukan proses lama dan kebetulan, dan sebagai ciptaan puncak dari Allah sebelum Ia beristirahat. Manusia bahkan diberi mandat untuk menguasai dan memelihara alam ini demi memuliakan Tuhan, sedangkan ciptaan lain tidak dapat berhubungan dengan penciptanya secara pribadi. Dengan demikian terdapat unsur dalam manusia yang tidak dapat membuatnya lari dari Tuhan.
Dalam Antropologi Kristen, manusia dipandang sebagai menyeluruh unsur material dan unsur batiniah (non-material), sedangkan antropologi materialistik hanya mementingkan tubuh material serta menolak unsur non-mataerial. Antropologi yang idealistik menolak hal-hal yang material dari manusia dan menekankan unsur immateri saja. Dalam Antropologi Kristiani manusia dipandang secara holistik. Alkitab tidak menyatakan secara eksplisit kedua unsur manusiawi tersebut, namun Alkitab juga tidak mengajarkan apa yang disebut “trikotomi” (tubuh, jiwa dan roh) atau “dikotomi” (tubuh dan jiwa) seperti yang banyak diperdebatkan oleh orang Kristen.[9] Manusia menurut teologi Kristen terdiri dari unsur-unsur: tubuh, jiwa dan roh; mental, psikologis, rohani pikiran perasaan dan kemauan yang berimplikasi juga pada keluarga, pekerjaan, keragamaan, dsb. yang tidak dapat dipisahkan secara ekstrim dan dicampur adukkan begitu saja satu dengan lainnya. Hanya dapat dibedakan dalam penjelasannya. Ini merupakan suatu misteri Ilahi tentang manusia. Unsur-unsur manusiawi yang dipisahkan atau dibuang akan membuat manusia bukanlah manusia utuh lagi; dan pelanggaran HAM terjadi dikarenakan pelanggaran salah-satu aspek manusia, baik itu tubuh, jiwa, roh, atau secara fisik, mental, rohani, dalam keluarga, pekerjaan, individu, juga pikiran, perasaan dan kemauan dsb.
Dalam Antropologi Alkitabiah manusia tidak terbentuk secara mekanistik, apalagi berasal dari binatang melalui proses evolusi makro. Manusia bukan produk kebetulan dari teori evolusi dan hanya merupakan kumpulan molekul saja. Kaum evolusionis melihat manusia hanyalah sebatas “binatang tingkat tinggi” dari hasil perubahan genetika secara alamiah. Dalam konteks ini keunikan manusia lebih dianggap sebagai “predator” di dalam lingkungannya. Oleh sebab itu, lahirlah ajaran survival of the fittes. Di mana keinginan merendahkan orang lain yang lemah dan diangap rendah. Siapa yang unggul secara kekerasan fisik, maka ialah yang dapat bertahan dalam hidup. Selanjutnya jika mau bertahan hidup, tugasmu adalah mengalahkan dan menginjak yang lebih lemah. Prinsip hidup evolusi tersebut akan sejalan dengan prinsip homo homini lupus di atas, sebagai pasangan untuk bertahan di atas kepunahan orang lain dengan cara berkompetisi ataupun dengan cara militeristik.
Sosiologi eksistensialis agak lebih pelik memahaminya. Mereka memahami “orang lain adalah neraka,” seperti perkataan pelopornya Jean Paul Sartre. Kalau orang lain hanya dipandang sebagai neraka dalam bermasyarakat dan bukan berkat maka aktualisasinya orang akan sulit menghargai dan melakukan prinsip-prinsip HAM.
Hal ini tentu berlawananan dengan implikasi dari antropologi Kristiani, di mana diajarkan prinsip: pengorbanan, kerendahan hati, penyangkalan diri, pertolongan, dan kasih kepada sesama manusia seperti diri sendiri, terutama pada yang lebih lemah Inkarnasi Kristus dan kehidupan Kristus di dunia ini memberi teladan mulia kepada manusia sepanjang zaman, namun banyak orang tidak mau menerimanya secara pribadi. Salah satu alasannya mungkin, karena takut harus mengakui keberdosaanya tentang hal ini. Antropologi Kristen menolak manusia berasal dari binatang, namun sebagai makhluk ciptaan khusus ia harus diperlakukan tidak seperti binatang dengan “hukum rimba” nya. Justru Antropologi Kristiani yang berdasarkan Alkitab akan menyempurnakan konsep tentang HAM.
4. Hakekat Ontologis Eksistensi Manusia.
Konsep Allah yang menciptakan manusia berdasarkan gambar-Nya menjadikan manusia mulia dan tidak terbedakan kemanusiaannya. Sesuatu keberadaan yang ontologis adalah suatu keberadaan yang harus ada, tidak dapat dibuang dan tidak tergantung oleh logika. Karena keberadaan itu sesuatu yang berasal dari dalam diri yang otentik. Jadi, prinsip kemanusiaan bukanlah hasil pembuktian logika., melainkan sebagai suatu tuntutan dari nurani manusia sebagai makluk yang berpribadi. Keharusan ontologis ini dapat saja disangkal, tetapi tidak dapat dilenyapkan atau dibatalkan, namun demikian penafsiran tentang HAM yang berbeda, bukan berarti nilai ontologis HAM dalam manusia itu berbeda. Keharusan substansial hak azasi dalam diri seseorang adalah sama dan serderajat, sebagai sesuatu realitas apriori, meski banyak orang berusaha menyangkalnya.
Prinsip “anti diskriminasi“ adalah buah-logis dari kesadaran status ontologism tersebut. Prinsip tersebut juga mengindikasikan bahwa perbedaan-perbedaan kondisional harus dipandang berdasarkan kesamaan martabatnya di dalam pengalaman eksistensial. Pengamsal berkata, “Orang miskin dan orang kaya bertemu yang membuat mereka adalah Tuhan” (Ams. 22:2); lebih lanjut ditegaskan, “ orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak mengertinya” (Ams. 29:7). Jadi, meskipun perbedaan kondisional adalah nyata namun harus dipandang berdasarkan status ontologis dari kesamaan manusia itu sendiri, yaitu di hadirat Allah Maha adil, bukan di dalam keinginan manusia yang picik dan tidak berperikemanusiaan.
Konsep Allah tidak membedakan manusia yang diciptakan-Nya, menunjukkan realitas ontologis kemanusiaan yang sama. Itu berarti status ontologis ini diberikan oleh Allah berdasarkan penciptaan manusia mula-mula, bukan berdasarkan kehendak manusia modern. Manusia tidak dapat mengambil atau membuang status ontologis ini dan Tuhanpun dalam ketetapan-Nya yang kekal tidak akan membatalkanya. Status/ hakekat ontologis ini adalah suatu realitas yang ada dalam pikiran manusia secara universal . Konsep (kemanusiaan) hak hadir dalam setiap pikiran manusia dan kebenaran itu tidak dapat ditolak, namun tidak berarti tidak dapat dibungkam kebenarannya oleh ego manusia.
5. Hak Kemanusiaan Selalu Bersifat Universal.
Hak asasi manusia harus bersifat universal (umum) dan bukan lokal (khusus). Kategori universal maksudnya tidak terbatas pada status manusia atau jabatan, melainkan pada pribadinya. Kepribadian manusia dan kemanusiaan pribadi adalah tujuan dari persamaan hak dan derajat. Di mana persamaan hak dan derajat itu menyangkut kemanusiaan yang umum di segala tempat, waktu dan keadaan. Di abad modern ini, hal ini menyangkut kasus-kasus kejahatan perang, kegiatan aborsi, hukuman mati bagi penjahat, pembunuhan politis. Dimanapun musuh dan lawan adalah manusia juga, sama seperti diri sendiri. Penganiayaaan karena dendam akibat perbuatan tidak berperikemanusiaan dari orang lain tetaplah pelangaran HAM. Pelanggaran HAM tidak boleh dibalas dengan tindakan yang melawan HAM itu sendiri, karena bertentangan dengan prinsip Alkitab, “Barangsiapa tahu berbuat baik, tetapi tidak melakukannya, orang itu berdosa.”
HAM memiliki sifat universal dalam aspek intrinsik yang esensial dan absolut. Secara essensial kategori kemanusiaan secara konseptual adalah pembentuk hak-hak kemanusiaan dan menjadikan HAM tidak boleh berubah dan harus berlaku umum sepanjang waktu dan di segala tempat. Sejalan dengan kata “universe” mencakup seluruh dunia atau “jagad raya” meski berbeda tempat, benua, negara, suku bangsa di muka bumi ini. Jadi lebih luas lingkupnya sampai melampaui prinsip internasionalitas (yang juga terbatas), keseluruh jagad raya ini, termasuk jika ada kehidupan manusia di luar bumi. Maka, esensi “universal” akan dianggap sah apabila prinsip HAM tersebut tidak berubah berlakunya di segala pelosok alam semesta ini. Sedangkan secara situasional dan eksistensial, manusia adalah berbeda dan dapat berubah tergantung tempat dan keadaan dan berbagai macam lainnya menurut keadaan pandangan lingkungannya. Celakanya karena sifat fenomenal dan sementara inilah yang diusahakan untuk ditonjolkan diatas, sehingga masa depan HAM seringkali diragukan untuk lestari dan seakan-akan hendak dikubur lagi oleh beberapa pengertian lokal yang sempit dan arogans dari beberapa golongan manusia, seperti yang pernah dilakukan dalam politik “apartheid” , kasus Bosnia, kasus rezim Khemer Merah, invasi China atas Tibet. Bahkan semua itu dilakukan pada zaman modern sesudah proklamasi hak-hak universal tahun 1948 dikumandangkan.
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa masa depan HAM yang universal terus digoyang sepanjang zaman bahkan oleh orang atau negara yang ikut menanda tangani konsensus tersebut. Jika seseorang tidak dilengkapi kesadaran akan kesamaan martabat dengan dasar ciptaan Allah, maka manusia akan cenderung melanggar UDHR dengan memanipulasi penafsiran dan menggunakan standar ganda. Ketundukkan pada ajaran Alkitab akan mendorong orang secara moral untuk menghormati manusia, karena kebebasan rohaniah yang kuat hanya berasal dari Roh Kudus. Dengan demikian HAM dapat tegak di masa depan. Namun demikian tidak berarti konsensus formal legal tidak lagi diperlukan oleh manusia.
Kebhinekaan kultur, agama, ras etnis adalah sesuatu yang diizinkan Allah dan ada di dalam kerangka providensial-Nya atas sejarah umat manusia. Semua berasal dari darah dan benih yang diciptakan sama pada pertama kalinya. Perbedaan yang dibuat manusia merupakan tambahan dan persepsional,, bukan bersifat esensi manusia. Perbedaan sebutan terhadap manusia yang bersifat lokal berdasarkan atas zaman dan tempat tinggal bukanlah sesuatu yang esensial dari kemanusiaan dan tidak bersifat universal. Allah adalah Tuhan atas semuanya, bahkan Injil Keselamatan harus diberitakan secara sama atas semua orang yang berbeda-beda tersebut. Implikasi pemberitaan Injil keselamatan adalah kesamaan martabat semua manusia (lih, Matius 28-19-29, Kis 1:8, Mark 16:15,16)
6. “Hak Asasi” dan “Hak Khusus” Harus Dibedakan.
Memang harus dijamin bahwa setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Telah diakui, secara konsep umum tolok ukur hak azasi seseorang harus sejalan dengan kewajiban orang tersebut untuk menghormati hak orang lain. Sebaliknya hak-haknya sendiri harus terpelihara dan tidak terlanggari oleh hak dan kewajiban orang lain. Namun pada tatanan praktis di lapangan, selalu ada batas-batas yang ditolerir dan diabaikan dulu demi keperluan tertentu. Namun tetap dianggap sah oleh konsensus bersama dan demi kepentingan yang lebih besar lagi. Ini merupakan norma khusus dalam situasi khusus pula. Meskipun berdasarkan hukum-hukum tersebut, seseorang dapat mempunyai hak dan kewajiban yang khusus, namun tidak boleh dinilai secara konsep ideal yang normative tersebut. Kondisi khusus ini ada, mungkin karena pekerjaan, tugas, jabatan, dan hubungan yang khusus dalam keluarga.
Hak azasi tidak sama dengan hak khusus. Hak azasi manusia menyoroti kemanusiaan secara umum sebagai esensi manusia aktual. Kemanusiaan manusia bersifat niscaya dan universal, walaupun manusia itu bermacam-macam bentuk, status, golongan dan agama. Sedangkan hak khusus manusia bersifat spesial dan sempit meliputi hak seseorang karena jabatannya, pekerjaan, golongan dan lain sebagainya.[13] Hak khusus ini sering tidak mau dimengerti oleh orang yang menyelidiki HAM. Hal ini mungkin dikarenakan banyak hak khusus telah diselewengkan penggunaanya oleh segelintir orang. Namun sebagian orang yang memperjuangkan HAM dengan tendensi memihak sekelompok orang demi kepentingan diri sendiri berusaha melenyapkan hak khusus ini. Meskipun hak khusus ini membela atau menyelamatkan dirinya mungkin akan diakuinya juga. Dengan demikian terjadi lagi penggunaan standar ganda yang merupakan kerawanan dan potensial bagi setiap orang dalam menangani masalah HAM.
Dalam konteks Indonesia, KONTRAS dan KOMNAS HAM merupakan pahlawan, namun tidak lepas juga dari penyelewengan analisis berat sebelah dan terlalu sering memojokkan POLRI/TNI semata-mata sebagai “biang kerok” penyelewengan hak azasi. Ada kecenderungan bahwa rasa simpati yang berlebihan dan terlalu memihak pada pesakitan dan korban,sehingga tidak mau mempertimbangkan situasi khusus yang dihadapi negara. Di dalam kemiliteran ada prosedur standar dan bertahap sebagai peraturan protokoler tersendiri, seperti “keadaan darurat yang bernomor.” Walaupun penulis sendiri tidak menutup mata pada kemungkinan adanya oknum aparat yang menyelewengkan rambu-rambu khusus ini, namun arogansi massa yang anarkis juga harus dibukakan secara obyektif.
Secara terbatas, hak seorang Presiden sama dengan hak seorang tukang becak, namun hak khusus seorang presiden tidak harus sama dan tidak mungkin sama dengan hak-hak khusus seorang tukang becak. Hak khusus/istimewa bersifat sementara berdasarkan kontrak hukum dan hak secara konstitusional dengan persyaratan khusus. Tujuannya untuk memenuhi kondisi khusus (tidak universal), karena itu tidak diterapkan pada semua orang dan pada kondisi tertentu saja. Singkatnya hak azasi bersifat tidak bersyarat, namun hak khusus ada syarat tertentu dalam penerapannya. Meskipun demikian, hak khusus ini diakui atau tidak diakui dilakukan di berbagai negara besar, termasuk di negara yang dikatakan “beradab” dan pahlawan demokrasi dan HAM.
Hal ini merupakan problem etis yang tidak mudah bagi seorang etikus yang bertanggung jawab dan bijaksana. Sekali lagi hal ini bukan berarti hak khusus dapat diselewengkan dari kebenaran, untuk itulah Hak khusus harus didasarkan pada suatu undang-undang. Seorang etikus yang bijaksana harus menyadari bahwa hak khusus ada dalam consensus, baik tertulis atau tidak tertulis. Bila dibandingkan dengan hak khusus, dalam hal ini harus diakui bahwa HAM tidak absolut dalam penerapannya, walaupun universal cakupannya. Jadi, “dengan suatu alasan yang cukup HAM dapat dikesampingkan terlebih dahulu dalam keadaan khusus pula.”
7. Perspektif Kristen tentang Hak dan Kebebasan
Hak dan kebebasan adalah seperti mata uang, di mana keduanya berjalan bersama-sama tidak dapat saling meninggalkan atau tidak mengikuti. Dua hal ini dapat diibaratkan sebagai “kembar siam” dalam hal identik, fungsi dan tugasnya. Dalam persamaan hak, setiap manusia harus menyadari bahwa manusia yang lain mempunyai hak yang sama seperti dia dan mempunyai hak lain untuk tidak diperlakukan sama seperti dirinya. Hak yang ada membawa kewajiban yang berkaitan dengan hak hidup dan hak bebas yang sekaligus mengimplikasikan bahwa seseorang harus menghormati hak tersebut. Secara singkat HAM harus mengimplikasikan prinsip ini, yaitu: “hak untuk … sejalan dengan bebas dari …”
Seseorang tidak dapat dikatakan mempunyai hak azasi kalau dia tidak mempunyai kebebasan, melainkan seseorang dapat dikatakan bebas kalau dapat mengaktualisasikan hak-hak azasinya. Kekembaran ini dalam arti yang wajar dan normal serta keadaan ideal. Keduanya tidak saling mengungguli atau mendominasi,,sehingga terjadi ketimpangan dalam kekembarannya. Ketimpangan dalam pelaksanaan HAM dan kebebasan seseorang bukan dimaksud dengan hak azasi atau hak azasi tidak sempurna, tetapi suatu pelanggaran hak azasi itu sendiri. Namun jelas dalam keadaan ideal, suatu konsep tentang HAM harus mengandung unsur kebebasan. Demikian juga dengan konsep kebebasan harus mengarahkan unsur hak azasi. Ada toleransi hidup dalam bermasyarakat.
Persamaan derajat mengharuskan persamaan hak pula di antara manusia yang bermartabat. Berdasarkan Roma pasal 1-2, persamaan hak alamiah mengindikasikan bahwa setiap manusia mempunyai kebebasan yang sama, yaitu saling menghormati kebebasan orang lain atau memakai kebebasan diri sendiri sejalan dengan kebebasan orang lain. Di dalam kebebasan ini, kedua belah pihak harus saling menghormati dan dihormati. Dengan demikian "kontrak sosial" di dalam tatanan masyarakat menjadi sangat penting. Kontrak sosial adalah semacam perjanjian (baik lembaga, secara lisan/tertulis) yang memainkan peranan penting untuk mengharmoniskan kemajemukan yang ada.
Dalam situasi kemasyarakatan seperti di atas, sangat dibutuhkan kasih yang bersifat Kristiani di dalam penilaian dan pendapat etis. Kasih agape Kristen adalah kasih yang tidak bersyarat dan bersifat Ilahi; namun tetap mempunyai konsekuensi pada dimensi sosial di dalam lingkungan. Dalam kasih agape seorang manusia dikasihi bukan karena anggota masyarakat, tetapi bernilai sebagai manusia sama seperti diri sendiri. Ia sama sebagai manusia yang sama dibawah penciptaan Allah, bukan karena ada ciri-ciri jasmani, sikap dan perbuatan manusia itu secara klaim eksternal seperti: baik, jujur, cantik, saudara, sahabat, sesuku, seagama, bahkan musuh sekali pun. Dalam keadaan inilah tujuan inkarnasi dari Yesus Kristus yang adalah Allah menjadi manusia sempurna, sama seperti manusia pada umumnya. Manusia Yesus Kristus bukanlah manusia khusus yang berbeda dengan manusia dunia ini: di dalam daging yang sama, kelemahan, lapar dll, hanya saja Yesus tidak berdosa. Ia bekerja, berpikir dan beperasaan sebagai manusia, bahkan lebih dari itu Ia memperhatikan manusia yang disia-siakan manusia lain, karena alasan: sosial, material, jasmani. Jadi, secara formal manusia Yesus Kristus sama dengan manusia lain, hanya secara esensi kekalnya berbeda dalam tujuan hidupnya, yaitu keselamatan manusia.[15]
Hak azasi manusia menyangkut seluruh unsur kemanusiaan manusia. Bukan hanya yang terlihat secara fenomena, tetapi juga yang tidak kelihatan seperti mental, spiritual. Hak azasi manusia tidak ditujukan semata-mata untuk hak-hak manusia secara unsur-unsur material, tetapi juga aspek-aspek immateri. Pandangan antropologis seseorang sangat menentukan pemahamannya tentang HAM. Seorang evolusionis memandang manusia sebagai seonggok daging yang mekanistik dan terdiri dari kalsium, listrik, molekul, air, protein. Lebih jauh lagi orang modern “yang modern” telah menjadikan manusia hanya sebagai “mesin” dan terasing dari relasi lingkunganya.[16]
HAM yang hanya menangani sesuatu yang bersifat materi belum dikatakan manusiawi yang sesungguhnya, karena manusia terdiri bukan dari materi dan bentuk saja, tetapi juga jiwa (mental, pikiran, kehendak) dan roh dan segala aspek eksistensial yang muncul dari hal-hal itu. Unsur-unsur imaterial dari kemanusiaan juga harus dipelihara dan dibela. Hak azasinya sebagai suatu keseluruhan sama halnya dengan tubuh yang terlihat. Kemanusiaan manusia sebagai dasar azasi manusia bersifat immateri, namun bukan berarti dapat mengabaikan unsur material manusia seperti beberapa kepercayaan non Kristen yang mengabaikan unsur material.
Telah diketahui banyak orang bahwa materialisme memandang manusia hanya sebatas apa yang dapat diraba dan dilihat. Di mana manusia hanya terdiri dari elemen-elemen material, mental emosional, dan kehidupan spiritual hanyalah menjadi produk struktur meterial manusia. Pandangan materialistik ini dapat diperlebar menjadi dua pandangan utama yang bersifat “marxistik” dan “behavioristik.” Marxisme memandang manusia adalah bagian dari struktur sosial daripada memandangnya sebagai seorang individu. Jadi, manusia menjadi tidak penting lagi secara indivisual dan hanya penting sebagai anggota masyarakat. Behaviorisme memandang manusia dengan penekanan tingkah laku seseorang yang ditentukan oleh lingkungan. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai kebebasan lagi dan tergantung lingkungan tempatnya berada. Sedangkan pandangan idealisme tentang manusia berakar dari filsafat Yunani kuno, terutama Plato. Antropologinya hanya mempertimbangkan manusia pada dasarnya bagian dari materi, lebih rendah dari jiwa atau rohani dan tempat berlindungnya jiwa. Idealisme menekankan seorang pribadi adalah intelek dan kekekalan jiwa, tetapi menolak kebangkitan tubuh.
Sistem antropologi kaum idealis dan kaum materialis, baik yang Marxistik maupun Behavioristik bersifat tertutup dalam penalarannya. Artinya berasal dari dirinya, bertujuan untuk dirinya sendiri, dari dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Menolak Allah telah berfirman kepada manusia tentang manusia, bahkan sifat ateis dari materialisme menolak secara tegas bahwa manusia adalah diciptakan Tuhan. Manusia adalah produk kebetulan dari evolusi makro alam semesta. Dalam pada ini manusia adalah suatu jenis benda saja dari hasi perkembangan mahkhluk jenis lain yang lebih rendah derajatnya. Sebagian orang mengatakan, “Manusia adalah suatu jenis hewan tingkat tinggi,” yang masih mengandung sisa-sisa kebinatangan yang sering muncul sewaktu-waktu.
Pandangan Kristen meyakini bahwa manusia bukan hanya aspek material atau aspek imaterial, tetapi keseluruhannya membentuk kemanusiaan manusia. Fisik, mental psikis, kerohanian, kedagingan dll adalah aspek-aspek seorang manusia. Manusia dapat dikatakan manusia, maka harus mempunyai usnsur-unsur tersebut, termasuk mereka yang cacat atau kerdil, mereka tetap adalah manusia yang utuh. Sebagai ciptaan Allah, manusia memang khusus dalam kelengkapannya, karena mempunyai tujuan yang khusus di dalam keseluruhan yang seimbang, yaitu memuliakan Alah dan mengasihi manusia lain serta memelihara dunia ini. Jadi, “isu tentang hak-hak asasi manusia menyentuh pada kehidupan secara keseluruhan dari pribadi manusia dan pada perikehidupan dari keseluruhan komunitas manusia.”[17]
Pengertian Kristen tentang HAM dan perjuangan Kristen atas HAM harus tetap berfokus pada kehendak dan kemuliaan Allah serta bukan semata-mata untuk kemuliaan ciptaan saja, khususnya manusia. C.S. Lewis menuliskan, “ketika Engkau sedang berkenaan dengan umat manusia, sesuatu yang lain datang dari atas dan melampaui fakta-fakta aktual.” Jadi, teologi Kristen tentang HAM tidaklah boleh mengabaikan keadaan manusia. Manusia itu satu asalnya dan harus saling menghormati HAM demi kemuliaan Allah sendiri bukan demi orang Kristen atau teologi Kristen. Dengan demikian pengertian Kristen itu tetap dijaga sebagai teologi konservatif (bukan konservativisme) atau sebaliknya sebagian orang Kristen mengerti HAM semata-mata untuk kemuliaan manusia kembali. Dengan demikian, seringkali orang tersebut jatuh ke dalam teologi yang antroposentris atau mereduksi antroplogi teologis menjadi antropologi sosial atau antropologi budaya saja. Pandangan yang sesuai Alkitabiah adalah setiap perjuangan dan pengertian Kristen tentang apapun harus untuk memuliakan Allah saja. dan bukan untuk manusia.
Pandangan tentang HAM yang teosentris, yaitu melihat manusia sebagai yang utama dan pertama dalam hubungannya dengan Tuhan penciptanya. Memanusiakan manusia dalam rangka memuliakan Tuhan, di mana Tuhan menginginkan manusia itu bermartabat adalah. dasar pengertian teologis HAM. Teologi antroposentris tidak akan memadai menilai manusia karena hanya untuk menyombongkan diri dihadapan Allah dan sengaja menyingkirkan otoritas firman Allah, sehingga hanya menjadi humanitarinisme yang sekular belaka. Dengan demikian dapat disetujui kesimpulan Robert E. Webber, bahwa “aktifitas Kristen di dalam kebudayaan harus menunjukan ciptaan Allah menurut tujuan-tujuan Allah, sehingga setiap lapangan kebudayaan mereflekskan nilai-nilai Kristen.”
10. Membedakan Humanitas Dan Humanisme
Seorang Kristen yang memahami HAM tidak boleh bermental humanisme yang dkuasai oleh ideologi sekularisme. Humanisme sekular adalah suatu filsafat hidup yang individual, egoistik dan sombong dalam menilai keunggulan manusia saja. Humanisme sekuler membawa kekacauan, karena masing-masing pribadi yang sadar akan kemanusiaannya harus mengabaikan kemanusiaan orang lain demi diri sendiri. Humanisme jenis ini menjadikan kemanusiaan seorang manusia menjadi relatif, karena tidak mempunyai standar yang universal, selain standar individu yang subyektif, yaitu diri sendiri. Dengan mental humanisme ini seorang tidak dapat memikirkan HAM dengan adil dan tuntas, karena mengabaikan mannishness of man. Humanisme sekuler telah gagal dalam impiannya memanusiakan manusia yang sejak semula dalam prose berpikirnya tertutup menolak Allah sebagai pencipta dan pemeliha manusia yang Maha tahu.
Sedangkan humanitas (humanity) adalah sesuatu yang bersifat wajar sebagai seorang yang beradab dan berperikemanusiaan. Humanitas adalah sesuatu yang ditanam dalam diri manusia sejak diciptakan, agar manusia hidup sebagai mana manusia. Berlainan dengan humanisme, humanitas menekankan: keadilan sosial, keberadaban, dan perikemanusiaan dalam perjuangan manusia di bumi ini. Dalam humanitas yang sesungguhnya, manusia yang bermasyarakat akan menolak "ego saya lebih dulu" seperti yang ada dalam manusia-manusia humanis. Pegertian humanitas dimulai dengan pengertian yang benar tentang humanisme, yaitu humanitas kristiani atau juga humanisme Alkitabiah yang sangat berlawanan dengan prinsip humanisme sekuler yang bersifat destruktif tentang manusia.
“Hak-hak mendasar dari humanitas harus diperjuangkan dan dipertahankan agar masyarakat manusia itu sendiri dapat langgeng.” Namun kalau manusia itu gagal mempertahankan hak-hak mendasar dari kemanusiaan sesorang yang bersifat universal, maka yang terjadi adalah “dehumanisasi” atau proses pemunahan manusia, baik secara aktual maupun konseptual. Mungkin manusia masih eksis, tetapi kemanusiaanya sudah hilang sama sekali, sehingga manusia hanya dipandang sebagai “robot hidup.” Selain mengalami keterasingan, karena telah meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar dan hanya mementingkan kebutuhan biofisik yang empiris saja. Pandangan ini jelas menolak nilai-nilai kerohanian atau nilai-nilai keagamaan dalam diri manusia dan membatasi hak asasi manusia hanya pada kebutuhan material untuk hidup sehari-hari saja. kemanusia manusia di dalam hak asasi manusia selalu bersifat keagamaan, walaupun menurut Stackhouse tidak semua agama relevan dengan hak asasi manusia (HAM). Di dalam hubungannya dengan kemasyarakatan, di mana manusia sebagai anggota masyarakat selalu berhubungan dengan martabat individual seseorang sebagai moralitas universal.
HAM bukan semata-mata untuk manusia, sebab hal itu hanyalah paham humanisme semata-mata dan bukan tentang humanitas lagi. Allah menghargai humanitas manusia dan mengutuk humanisme manusia yang sombong, karena prinsip humanisme "homo mensura" telah mengeluarkan Allah dari arena kehidupan nyata manusia. Manusia telah menjadi Allah bagi diri sendiri. Jadi, dalam mental humanisme, manusia yang aktif memperjuangkan manusia, tetapi dalam humaniti (peri kemanusiaan), Allah yang aktif memperjuangkan manusia sebagai Allah yang bertindak dan dinamis dalam dunia ini. Dalam mental humanisme sekuler manusialah yang berotonomi, sedangkan dalam mental humanitas yang berdasarkan humenisme Alkitabiah, Allahlah yang berdaulat memberi mandat kultural kepada manusia.
Hak asasi manusia di dalam hubungan dengan masyarakat selalu berhubungan dengan martabat individual. Keduanya tidak saling terpisahkan dan saling menempati serta memberi tempat agar dapat dijalankan secara perikemanusiaan.
dicuplik dari Jurnal Stulos tahun 2004 dengan penyesuaain seperlunya belum selesai edit untuk blog ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar