Fobia Hegemoni Agama
Dalam Negara Pancasila, agama memiliki kedudukan yang terhormat, yaitu sebagai landasan moral, etik bangsa. Karena itu, kontribusi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini adalah suatu keniscayaan. Indonesia bukan negara sekular yang yang memposisikan agama hanya pada ruang privat agama. Tapi, mengapa seberkas draft yang masih berupa usulan dari tokoh-tokoh agama di Manokwari dan belum juga rampung menjadi raperda itu menyulut reaksi luas, bahkan pernah terjadi Demo oleh sekelompok orang yang menuntut dibatalkannya Raperda Kota Injil yang belum pernah ada itu, setidaknya itulah yang dikatakan Sekretaris Daerah (Sekda Manokwari) dalam wawancara dengan penulis.
Yang lebih menarik lagi adalah reaksi terhadap usulan yang belum juga rampung menjadi raperda itu gaungnya lebih terdengar keras di luar kota Manokwari, Papua Barat, juga Papua secara keseluruhan. Timbul pertanyaan, apakah dalam alam demokrasi yang sedang bergulir ini hegemoni agama telah demikian menakutkan sehingga apapun yang berhubungan dengan agama sangat mudah menyulut reaksi keras, lantas, bagaimana agama-agama yang beragam itu dapat memberi kontribusi positifnya jika mesti berhadapan dengan aneka kecurigaan yang berlebihan itu.
Berawal dari otonomi khusus
Ditetapkannya UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus untuk Papua mengantarkan masyarakat Papua pada sebuah pertanyaan besar, apakah sesungguhnya yang mejadi kehususan Papua. Untuk menjawab pertanyaan besar tersebut diadakanlah Seminar dan loka karya di kota Manokwari, 1-2 Februari 2007, yang dihadiri oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Departemen Agama (depag), Pimpinan gereja-gereja di Manokwari, tokoh adat, organisasi perempuan, organisasi pemuda. Kemudian, pada pertemuan tersebut dicetuskanlah kekhususan dari Papua, khususnya tentang jati diri dari Manokwari sebagai Kota Injil.
Dalam tulisannya yang berjudul “Nilai-nilai Kebudayaan Lokal Pendukung Gagasan Manokwari Kota Injil,” Dr. j.R. Mansoben menjelaskan, Orang Papua mengakui bahwa Injil telah mempersatukan orang Papua yang mulanya saling hidup dalam kecurigaan dan peperangan,” Keberadaan Manokwari sebagai pintu gerbang Injil bagi Papua disepakati sebagai suatu kekhususan. Bukanlah sesuatu yang aneh jika kemudian Kota Manokwari yang disebut Kota Buah (kota buah-buahan) mendapat julukan “Kota Injil” dan itu bukanlah sesuatu yang baru, karena pengakuan itu telah ada dalam masyarakat Manokwari, karena terkait dengan peristiwa histories masuknya Injil di pulau Mansinam pada 5 Februari 1855, yang setiap tahun dirayakan oleh masyarakat Papua.
Dengan digulirkannya otonomi khusus untuk Papua, menurut Mansoben, sudah semestinya perlindungan terhadap hak-hak dasar orang Papua yang tercermin dalam bentuk kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada penekanan dari pihak manapaun; dan perlindungan terhadap nilai-nilai kebudayaan dan adat istiadat orang Papua”, untuk diperlukan payung hukum. Jadi proteksi yang coba diusulkan bukanlah didorong oleh semangat pengekangan kebebasan, sebaliknya untuk maksimalisasi pemenuhan kebebasan semua komunitas yang ada.
Kita tentu setuju, kehadiran hukum tidaklah boleh dimaknai sebagai pembatasan kebebasan, sebaliknya hukum justru menjaga, melindungi semua individu untuk dapat menikmati kebebasannya secara maksimal. Hanya saja, yang kemudian menjadi persoalan adalah, apakah hukum yang dihadirkan itu telah menjadi konsensus bersama atau tidak. Dan apakah dalam usaha itu ada partisipasi aktif semua pihak.
Solusi Damai
Menurut tokoh-tokoh agama Kristen Manokwari, raperda kota injil yang akan disusun itu jauh dari semangat diskriminatif, karena Injil pada hakikatnya bersifat universal dan tak memiliki semangat diskriminatif. Meski diakui, sebagai suatu usulan yang berasal dari persfektif tertentu bisa saja dimengerti secara berbeda, tapi itu tentu akan dibicarakan dengan agama-agama lainnya, untuk kemudian mengambil sintesa yang berisi nilai-nilai kebaikan bersama yang universal.
Menurut mereka adanya aturan yang memproteksi umat kristiani tidak boleh diartikan melulu sebagai tindakan diskriminatif, karena itu juga secara bersamaan memberikan proteksi terhadap agama-agama lainnya. Ini bisa diartikan bahwa hukum memberikan perlindungan yang sama, hanya saja usulannya berasal dari komunitas Kristen.
Misalnya saja perihal penghentian kegiatan public pada hari minggu. Bagi orang luar kota Manokwari itu merupakan pembelengguan kebebasan manusia, namun, bagi mereka yang berada di kota Manokwari usulan itu ditanggapi biasa, apalagi ada fleksibilitas yang kemudian dilontarkan, misalnya penghentian kegiatan public itu hanya berlaku sampai jam 12 siang, waktu dimana gereja-gereja telah selesai menjalankan ibadah minggu.
Penghentian kegiatan publik pada hari minggu itu sendiri didasarkan adanya gangguan terhadap ibadah Kristen disana. Khususnya ketika kapal penumpang bersandar pada hari minggu di kota kecil seperti Manokwari. Kehadiran kapal laut yang menurunkan penumpang dalam jumlah yang banyak itu tentu saja menggoda umat Kristiani yang akan beribadah, khususnya pengemudi kendaraan bermotor. Demi mengais rejeki, tidak jarang umat Kristiani lebih memilih mengais rupiah dibandingkan beribadah pada hari minggu, padahal jika kapal itu bersandar pada hari lain, tak ada pihak yang dirugikan, jadi penghentian kegiatan public di Manokwari pada hakikatnya terkait bagaimana menjaga ketertiban di dalam masyarakat tanpa mendiskriminasi pihak lain, dan itu hanya berlaku untuk umat kristiani, tidak untuk semua orang. Demikian juga usulan-usulan lainnya.
Fobia hegemoni agama
Kuatnya penolakan terhadap usulan yang belum juga rampung menjadi “Raperda Kota Injil”tampaknya terkait dengan fobia hegemoni agama. Hadirnya perda-perda yang bernafaskan agama yang bersifat diskriminatif, meski kehadirannya diklaim secara demokratis adalah bukti masih kuatnya semangat hegemoni agama. Bukan mustahil banyak individu atau kelompok yang dengan keras melakukan penolakan sebenarnya tak pernah tahu apa sesungguhnya yang terjadi dalam proses tersebut.
Fakta kehadiran perda-perda bernuansa agama yang diskriminatif ternyata telah menimbulkan Fobia hegemoni agama di negeri ini. Itu tentu saja tidak produktif, karena akan kembali melemparkan agama pada ruang privat agama dan melahirkan radikalisme agama. Keterbukaan dan kesediaan mendengar adalah kunci untuk mencari titik temu. Apalagi jika kita mengakui bahwa pada setiap agama terdapat misi perdamaian.
Binsar A. Hutabarat, M.C.S
Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society
0818829934
Selasa, 19 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar