Selasa, 19 Februari 2008

”Perda Manokwari ’Kota Injil’”

Nama Kota Manokwari, ibu Kota Papua Barat, beberapa bulan ini tiba-tiba menjadi buah bibir. Media massa, internet sampai SMS menjadikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Manokwari Kota Injil sebagai topik utamanya.
Ada yang menarik dalam perdebatan itu, kontroversi menyangkut perda kota injil yang masih berupa usulan dan belum juga rampung menjadi raperda itu suaranya terdengar lebih nyaring di luar kota Monokwari, Papua Barat, dan juga Papua secara keseluruhan.
Timbul pertanyaan, apa yang menjadi kekuatiran perubahan lebel Manokwari yang sempat di juluki kota buah dan kini menjadi kota Injil, apalagi itu ada di ”Papua Tanah Damai”, daerah yang terkenal dengan toleransinya, dan ditanah itu tak pernah terdengar adanya perusakan apalagi pembakaran rumah ibadah agama apapun, setidaknya itulah yang diakui dalam wawancara penulis dengan tokoh-tokoh agama disana.

Bukan hal baru
Ketua Umum Pengurus Pusat Majelis Muslim Papua, H. Arobby A. Aituarauw S.E., M.M, pada pembukaan Musyawarah Wilayah I Majelis Muslim Papua Wilayah Manokwari, tanggal 1 September 2007 berkomentar, ”Manokwari menjadi Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru. Ini adalah fakta sejarah semenjak 5 Februari 1855” Aituarauw juga menjelaskan, Kekristenan yang berpusat pada kasih dan pembebasan, Golden Rule, matius 7 ayat 21, ”segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”, bukanlah suatu ancaman. Menurutnya, ’dengan universalitas Kasih dan Pembebasan ini, kota manokwari akan berkembang sebagai taman surga yang damai, bebas dari ketakutan”.
Berdasarkan pernyataan Majelis Muslim papua tersebut dapat dipahami, mengapa muslim Papua tak merasa asing dengan julukan Manokwari sebagai Kota Injil yang adalah peristiwa sejarah itu, dan hingga kini, khususnya pada hari raya Idul Fitri 13 Oktober 2007, mereka dapat melakukan ibadah dengan damai di empat lapangan sepak bola yang tersebar di kota Manokwari dengan aman, tanpa gangguan dari kelompok masyarakat manapun, meski untuk pelaksanaan itu ada jalan-jalan protokol yang harus ditutup untuk tempat parkir kendaraan umat yang beribadah.
Tambahan lagi, Bagi orang Papua, penganut agama apapun, sebutan Manokwari kota injil adalah sesuatu yang disyukuri, itu adalah suara kedamaian yang tak menyimpan semangat diskriminatif. Terbukti, kehadiran tulisan-tulisan Kota Injil dengan berbagai bentuk dan ukuran yang ditampilkan di berbagai sudut jalan kota manokwari itu tampak terawat dengan baik hingga saat ini.
Diakui, Setidaknya 250 suku dengan berbagai bahasa, yang mulanya saling berperang, dan hidup dalam kecurigaan, bahkan saling memangsa sesamanya, oleh Injil telah diperdamaikan, dan hidup menjadi manusia yang beradab. Umumnya Orang Papua mengakui, peradaban mereka dimulai dengan masuknya Injil di Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855. Karena itu, perubahan sebutan Manokwari dari kota buah menjadi kota Injil tidaklah mengagetkan mereka, bahkan menimbulkan harapan baru untuk mengembalikan Papua sebagai tanah damai.

Nilai-nilai Universal.

Perda Manokwari kota injil menurut Kabag Hukum dan HAM Manokwari, Robberth K. R. Hammar, bukanlah perda agama, karena menjadikan Injil sebagai perda sama saja mereduksi Injil itu sendiri menjadi buatan manusia. Nilai-nilai Injil yang universalah yang akan menjadi isi dari raperda yang belum juga rampung itu.
Pengakuan manokwari sebagai kota Injil yang adalah realitas sejarah itu memerlukan perda untuk menata kota itu untuk dapat tampil sesuai dengan julukan yang diberikan dan menjadi daerah yang penuh kedamaian serta dapat memberikan kesejahteraan masyarakat yang berdiam disana, karena itu dalam draf usulannya disebut sebagai perda Pembinaan Mental dan Spiritual dan berisi nilai-nilai yang universal. Sebagai suatu usulan kelompok masyarakat bisa saja ada point-point yang dianggap mendiskriminasikan kelompok lainnya, namun suatu dialog untuk mencari titik temu bersama sangat dimungkinkan, apalagi dengan toleransi yang tinggi dari masyarakat Papua

Ambil contoh, perihal Perda Miras (larangan minuman Keras) yang ditetapkan pada desember 2006 yang adalah bagian dari penataan manokwari sebagai Kota Injil. Perda itu dianggap sesuai dengan nilai-nilai injil yang juga diakui sebagai nilai-nilai yang universal, buktinya, hingga kini, tak ada keberatan dari pihak agama manapun. Bahkan, Kehadiran perda tersebut telah mengubah wajah Manokwari menjadi kota yang bebas dari lalu lalangnya pemabuk yang mengganggu masyarakat.
Jika sebelum penetapan perda tersebut sangat mudah menjumpai orang-orang mabuk, kini, di Manokwari, baik siang maupun malam, tidak lagi ditemukan orang-orang yang mabuk dan mengganggu dipinggir-pinggir jalan atau dihalaman rumah penduduk. Menariknya, keberhasilan perda tersebut kemudian juga di contoh oleh daerah-daerah lainnya. Itu adalah bukti bahwa perda kota Injil hanya akan berisi nilai-nilai yang universal dan diterima oleh semua kelompok masyarakat.
Terindikasi, Gagasan Raperda Kota Injil jelas tidak dimaksudkan untuk menjadikan Kabupaten Manokwari menjadi sebuah wilayah eksklusivisme dan tertutup. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini hampir tak ada lagi bagian dunia yang tetutup untuk dunia luar. Bahkan dalam era ini, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni. dunia telah menjadi sebuah" desa global", di mana seluruh dunia menjadi terbuka dan terasa semakin kecil. Interaksi penduduk duniapun makin menjadi semakin tinggi dan intensif. Dengan demikian, mustahil Kabupaten Manokwari akan menjadi wilayah yang eksklusive dan tertutup, itu sama saja dengan membenamkan kota Manokwari pada keterbelakangan.

Perlu Keterbukaan

Harus diakui, sebagai suatu usulan yang belum juga rampung menjadi suatu Raperda yang kemudian baru dilakukan pembahasan, bisa saja terdapat nilai-nillai yang dianggap berisi nilai-nilai yang diskriminatif, namun itu tidak berarti bahwa niat baik untuk menghadirkan suatu kehidupan yang lebih baik sama sekali tak bernilai. Kontroversi yang tak produktif mestinya tak perlu dikobarkan, sebaliknya usaha membangun komunikasi untuk terciptanya komunikasi dua arah yang bersifat memberi dan menerima demi melahirkan konsensus bersama harus menjadi suatu kebutuhan bagi lahirnya perda yang dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat di Manokwari.
Dialog untuk mencari sintesa untuk menghadirkan suatu konsensus akan nilai-nilai yang universal yang adalah semangat dari Pancasila dalam bhineka tunggal ikanya adalah sangat dibutuhkan. Dan usaha untuk mencari sintesa itu memang tidak mudah, namun menjadikan keragaman sebagai fakta yang akan menghadirkan berkat merupakan kunci bagi lahirnya nilai-nilai yang membawa kebaikan bersama (common good), itu membutuhkan toleransi yang tinggi, namun bukanlah suatu kemunduran, sebaliknya justru sebagai suatu kemajuan.
Para pendukung raperda kota injil, khususnya tokoh-tokoh Gereja di Manokwari secara terbuka mengakui bahwa usulan tersebut masih memerlukan perbaikan disana-sini, dan itu adalah hal yang wajar. Dialog antar tokoh-tokoh agama yang berbeda tentu saja dibutuhkan untuk mendapatkan konsensus bersama akan nilai-nilai yang universal dan baik untuk semua. Asas “fairness” sebagai keharusan dari suatu undang-undang yang berdaya guna untuk menata hidup bersama untuk kebaikan bersama tentu saja membutuhkan dialog.
Akhirnya, kontroversi kontra produktif sekitar raperda kota injil mestinya segera dihentikan, apalagi itu tak terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua itu sendiri. Kesediaan mendengar usulan kelompok masyarakat tentang perda di kota injil semestinya menjadi momentum untuk berdialog dan mendengarkan tentang ungkapan orang Papua sebagai sesama saudara sebangsa dan setanah air.

Binsar Hutabarat, M.C.S
Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society
0818829934

Tidak ada komentar: