Rabu, 27 Februari 2008

alternatif etikaklobal bagi raperda injil manokwari (dan pttensi potensi kemunculan peraturan sara.

GAGASAN ‘ETIKA GLOBAL’ DAN RAPERDA 'INJIL' MANOKWARI

Etika Global dan Pergumulan Agama-Agama Dunia

Kita melihat bahwa agama-agama mengalami pergumulan dan tantangan, baik dalam skala kecil dalam masyarakat-bangsa maupun skala yang lebih global dalam peradaban manusia. Dari banyak tantangan kedamaian yang dihadapi dunia, justru agamalah penyumbang permasalah yang paling tragis bagi kelanjutan peradaban manusia secara global. Walau sebenarnya bukan agamanya yang menjadi permasalahannya, tetapi, menurut saintis sosial adalah “sikap dan tingkah laku” orangnya yang menganggap diri lebih suci dari satu terhadap yang lain.[1] Secara definitif, jika oleh karena ajaran agamanya, maka agama tersebut sudah mengkhianati dirinya sendiri. Adalah fakta bahwa agama-agama yang berbeda, bahkan agama yang sama di dalam kebudayaan yang berbeda dapat saling menghancurkan manusia. Penderitaan dan kejahatan yang dilakukan atas nama agama bahkan atas nama Allah dilakukan sacara sadar, sistematis bahkan sering dilegalisir dengan segala macam alasan hukum yang berlaku. Jadi Jadi orang beragamalah yang menyebabkannya. Jadi orang beragamalah yang menyebabkannya. Problem rivalitas-superior agama adalah realitas masa kini, apalagi bila agama tersebut berada ditangan egoisme manusia dalam mengartikan agama. Prinsip partikularisme ekstrim dan menyingkirkan agama lain dan secara sistematuis berusahah melenyapkan agama lain dengan dakwah agresif. Hakekat agama bukanlah persaingan, apalagi saling berhadapan sebagai musuh. Agama adalah sahabat kemanusiaan bukan musuh kemanusiaan, namun beberapa ‘petualang’ keagamaan menjalankan eksklusivisasi agama di tengah masyarakat dan dunia. Keunikan agama masing masing bukan alasan untuk melenyapkan agama lain dengan alasan tugas agamisasi. Keunikan agama adalah fakta namun eksklusivisme agama adalah arogans dan dosa masyarakat, karena konsekuensi keunikan agama dapat berlaku secara wajar dan terhormat di dalam masyarakat beradab tanpa segala bentuk kekerasan. Muara dari semua itu adalah pentingnya etika tanggungjawab, dan etik global digagas karena situasi agresif dari cara dan prilaku orang keberagama di masyarakat..
Secara khusus gagasan ‘etika global’ terkait erat dengan ‘Parlemen agama-agama dunia,’ yang berdiri tahun 1883 di Amerika dan sekarang berkembang menjadi suatu dewan se dunia. Etik global diinisial oleh draft Hans Kung yang disampaikan pada pertemuan Paringatan ke 100 WPR di Chicago, 28 Agustus 1993, yang dikenal dengan dokumen A Declaration of religions of Global Ethic.[2] a declaration of religions of global ethic. Pertemuan Chicago ternyata tidak muncul dalam sekejab, karena sebelumnya sudah dilakukan beberapa kali pembicaraan pendahuluan, yang dikenal sebagai babak pra-sejarahnya. Khusus dalam rangka memperingati 50 tahun Universal Declaration of Human Rights dari DK-PBB (1948-1998), deklarasi etika global dipakai sebagai tambahan dan penguatan pada UDHR dalam usahanya untuk memipin ke arah dunia yang lebih baik. Bahkan pada ahun 1997 ditindak lanjuti oleh dewan interaksi yang diprakarsai UNESCO dan menelurkan 10 poin hak dan tanggjungjawab manusia atas kedamaian, dan keadilan dan serta kesamaan dalam 22 artikel tentang prinsip-prinsip fundamental, toleransi, kerjasama bagi kemanusiaan, dan dibacakan pada 28 Maret 1997 sebagai “Universal Declaration of Global Responsibilities” (UDGR) yang dibacakan pada 25-28 maret 1997. [3] Semuanya untuk hal keperlengkapan Universal Declaration for Global Ethic (UDGE) yang dicetuskan kemudian oleh seorang bernama Swidler. Inti proyektifnya adalah pentingnya dialog antara agama dan kebudayaan dikalangan manusia yang pluralistik.
Kembali kepada pidato pendahuluan Hans Kung, yang mengungkapkan bahwa etika global bukanlah ideologi global dan bukan juga satu agama global atau bukan nilai campuran yang sinkritistik dan juga bukan untuk mengganti etika individual agama-agama secara minimalis. Secara prinsipil etika global sedang menghadapi krisis dunia dalam segala bidang ini seperti: ekologi, sains, teknologi, ekonomi dan politik, agama, dll di mana manusia kemanusiaan manusia sedang terpuruk. Dalam etika global mengasumsikan pada dasarnya semua orang ingin diperlakukan secara baik dengan mengajarkan suatu prinsip kebaikan resiprok dan mutualistik di dalam masyarakat berdasarkan ajaran agama sendiri. Dalam deklarasi etik global menyebutkan prinsip pertama, “Tidak ada tatanan global yang baru tanpa etik global yang baru.” dan diikuti 4 komitmen kemanusiaan yang tidak terbatalkan (irrevocable): (1) budaya anti kekerasan dan menghormati kehidupan, (2) budaya solidaritas dan tatanan ekonomi yang baik, (3) budaya toleransi dan kehidupan yang benar, (4) kesaman hak dan kerekanan perempuan laki-laki. sebagai penutup diuraikan pentingnya transformasi hati nurani bagi manusia. Berdasarkan standar nilai-minimalis inilah manusia beragama harus berkomitmen dan sepakat melakukan kebaikan bersama di dalam semua lapangan kehidupan secara global, di bawah prinsip yang disebut “Golden Rule.” Prinsip umum yang terambil dari tradisi agama agama yang berbeda dan dipakai sebagai standar etis minimal dikalangan manusia secara global dan normatif. Dalam level etis itulah konsensus dicetuskan dalam perjanjian universal, untuk diberlakukan dalam segala lapangan kehidupan secara global.
Konsensus tersebut sbb:
1. Kami saling bergantung. Masing-masing dari kami bergantung kepada ‘kebaikan’ semuanya, karenanya kami menghormati komunitas mahluk hidup, umat manusia, binatang, tumbuhan, dan bagi pemeliharaan bumi, udara, air dan tanah [dipersingkat].
2. kami harus ‘memperlakukan orang lain’ sebagaimana kami ingin orang lain memperlakukan kami. Kami membuat komitmen untuk menghormati kehidupan dan martabat, individualitas dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa kecuali [dipersingkat].
3. kami menganggap ‘semua manusia sebagai keluarga.’ Kami harus berusaha berbuat baik dan murah hati. …Tak seorangpun dapat dianggap dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, atau dieksploitasi dengan cara apapun [dipersingkat].
4. kami mengikatkan diri kepada ‘budaya tanpa kekerasan,’ penghormatan, keadilan dan perdamaian. Kami tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh orang lain, meninggalkan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi perbedaan. Kami berjuang untuk sebuah ‘tatanan sosial dan ekonomi yang adil,’ di mana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih ‘potensi yang penuh sebagai manusia.’ Oleh karena itu, kami mengikatkan diri kepada etik global [dipersingkat].
5. Kami mengajak semua orang, beragama atau tidak, untuk melakukan hal yang sama.

Prinsip-prinsip “A Universal Declaration of a Global Ethic”
Ada jeda antara inisial menuju etika global dalam parleman agama agama sedunia dan deklarasi universalnya. Yang pertama diusulkan oleh Hans Kung dan diterjemahkan dan direvisi oleh banyak orang. Sedangkan yang kedua, dikenal dengan UDGE diajukan oleh draft Swidler dari Chicago university, di bawah judul Toward Universal Declaration of Global Ethic”. Dalam draft Swidler ini diungkapkan dasar situasional dan prinsip prinsip global etik secara teoritis namun gamblang. Pertama, penjelasan definitif agama secara niscaya bagi manusia dan fakta munculnya era baru dengan paradigmanya yang baru juga, yaitu “dialog global” dan kebutuhan akan etik global yang berdasarkan dasar etika yang sama yaitu ‘kaidah emas. Sejalan dengan Kung, Swidller juga, Secara panjang lebar memberi alasan bagi keabsahan golden rule sebagai fundamental etis dari tradisi agama-agama yang berbeda dan menjadi populer sampai kini. Deklarasi agama-agama dalam skop global, yang tidak mungkin diadakan dalam lapisan hukum (level kodifikasi hak-hak manusia) ataupun lapisan politis (level solusi dan usulan yang konkrit) tetapi pada lapisan etis (level ikatan nilai nilai, sikap-sikap fundamantal dan standar-standar bersama. Untuk itu pentingnya konsensus universal yang mencakup seluruh elemen masyarakat di dunia, karena “etik Global harus berkerja pada semua level: sarjana, pemimpin, dan akar rumput; kalau tidak maka akan tidak berhasil sama sekali.”[4]

UDGE diajukan lima presuposisi yang bekaitan dengan hak asazi manusia dari UDHR (1948) dan sekaligus poin-poin nya dijadikan ‘prinsip2 antara’, yaitu sepoluh poin hak dan kewajiban yang secara formal diajukan oleh setiap negara di muka bumi. Selanjutnya etika global dihasilkan dari lapisan etis yang sama dalam kehidupan umum dari orang yang beragama berbeda.
1. Because freedom is of the essence of being human, every person is free to exercise and develop every capacity, so long as it does not infringe on the rights of other persons or express a lack of due respect for things living or non-living.
2. Because of their inherent equal dignity, all humans should always be treated as ends, never as mere means.
3. Although humans have greater intrinsic value than non- humans, all such things, living and non-living, do possess intrinsic value simply because of their existence and, as such, are to be treated with due respect.
4. As humans necessarily seek ever more truth, so too they seek to unite themselves, that is, their "selves," with what they perceive as the good: in brief, they love.
5. Thus true human love is authentic self-love and other- love co-relatively linked in such a way that ultimately it is drawn to become all-inclusive.
6. Those who hold responsibility for others are obliged to help those for whom they hold responsibility.
7. Because all humans are equally entitled to hold their religion or belief--i.e., their explanation of the ultimate meaning of life and how to live accordingly--as true, every human's religion or belief should be granted its due freedom and respect.
8. In addition, dialogue--i.e., conversation whose primary aim is to learn from the other--is a necessary means whereby women and men learn to respect the other, ceaselessly to expand and deepen their own explanation of the meaning of life, and to develop an ever broadening consensus whereby men and women can live together on this globe in an authentically human manner.[5]
Adapun Standarisasi moral global dalam golden rule yang berdasarkan tradisi filsafat kemanusiaan dan agama tersebut seperti deskripsi di bawah:
“as with the Golden Rule, this loving/loved "self" needs to continue its natural expansion/ transcendence to embrace the community, nation, world, and cosmos” (tambahan poin 3),
2)“ the Golden Rule implies: If we were in serious difficulty wherein we could not help ourselves, we would want those who could help us to do so, even if they held no responsibility for us; therefore we should help others in serious difficulty who cannot help themselves, even though we hold no responsibility for them.
3) In addition, the Golden Rule implies: If we were in serious difficulty wherein we could not help ourselves, we would want those who could help us to do so, even if they held no responsibility for us; therefore we should help others in serious difficulty who cannot help themselves, even though we hold no responsibility for them” (tambahan point 5).

Sprit manufesto Etik Global bagi peradaban manusia: Penilaian Positif
1. Globalisasi adalah jiwa globalisasi bagi etika global sekaligus konteks pemikiran. Prinsip globalisme berasal dari proses globalisasi dalam konteks perkotaan dan sivilisasi dalam konteks modern. Dalam masyarakat urban mengumulkan semua orang dari golongan yang sama naun satu etnik dan lain etinik dalam yang berdekatan. Namun kalau ditingkatkan menjadi meteripolitan dimana cakupan pluralitas dalam berbagai aspek semakin besar dan berbeda hodip dalam satu tempat yang maju seperti ibu kota suatu negara atau provinsi. Daeran dan kota yang kosmopolitas adlaha penduduk dunia yang meliputi semua darah di dunia ini dan berkumpul dalam kehidupan berdsama-sama tanpa terlalu memandang lagi nasionalisme apalagi etnikisme dan tribalisme. Semua kota besar, ibukota provinsi sedang menuju masyarakat internasional yang dinamakan kosmopolitanisme atau sedikitnya masyarakat nasional yang bergagasan metropolitan. Dalam hal ini etika global mendapat tempat yang positif, di mana prinsip kekinian dari visi ingin menunjukan satu hal saja, bahwa “global civilization is not a future possibility; it is present-day.”[6] Selanjutnya dapat dikatakan sebagai “proyek” yang melibatkan nilai nilai yang sama dari semua sistem etika agama-agama yang ada di dunia ini, seharusnya etika global dapat terwujud sesegera mungkin karena diikat oleh pluralisme kultural, agama dan intelektual yang ditenun bersama dengan peradaban global kontemporer yang bersifat dilogis; jadi etika global tidak muncul secara bertahap dan natural seperti beberapa proses peradaban lalu. Ini adalah keunikan sekaligus keuntungannya, kalau saja orang beragama ini sampai pada tahap kesadaran akan keprihatinan manusia yang tinggi maka etika global dapat diterapkan seketika. Prinsip peradaban manusia secara global selalu berisi pasangan tanggungjaab global dan etika global di dalam masyarakat global.
2. Sekularisari agama adalah motif dan orientasi gerakan etika global di mana keagamaan kita harus dilepaskan dari politik (berbentuk dua: politisasi agama atau agaisasi politik). Keagamaan kita hanya privat walapun sedangkan level politik bermain nilai nilai publik dan iniversal. Memang dalam arti sempit sekularisme diarikan sebagai ideologi tanpa Allah atau anti agama dan menolak agama, namun level masyarakat agama direinterpretasikan atau diredefinisikan dalam term-term duniawi. Inilah yang oleh Ingrid shaeffer disebut “spiritualitas religius sosial”, yaitu suatu spiritualitas yang bersifat umum dan apriori berdasarkan ‘rasa keagamaan’ manusia terhadap Yang Transenden tersebut.[7] Hal ini tentu sejalan dengan ‘spiritualitas baru’ yang selama ini didengungkan oleh kaum oikumenis-pluralis. Tujuan umumnya adalah bertugas untuk bekerja bersama mencari solusi atas isu-isu bersama yang dihadapi umat manuisia, seperti: ancaman, nuklir, terorisme international, pembunuhan ras, pelanggaran HAM. krisis ekologis, kejahatan perang, terorisme, dan lingkungan, dll.
3. Pascamodernisasi sosial adalah tempat dan ruang (era zaman) yang garda yang meloloskan gagasan etika global dalam hal dekonstruksi kemapanan sosial (status quo) pemerintah dan pranata pranata sosial yang sudah ada. tanpa batas batas sosial kemasyarakatan yang kaku dan ketat. Tidak boleh ada klaim sosial agama yang paling benar, karena semua sama hak benarnya di dalam masyarakan dan secara politis. Disinilah etika global dikatakan sebagai anak zaman dari era pascamodern, di mana wacana pluralisme agama dipromosikan secara gencar hanya dalam wacana antar agama dan studi studi sosial saja. inilah waktunya yang disebut "the age of dialogue" kebersamaan dan kesatuan umat manusia dalam menghadapi sikapdan kelakuan tidak berprikemanusiaan (inhumanity).
dihasilkan konsensus bersama agar dapat dimengerti secara umum. Yaitu berdasarkan prinsip Golden rule dari etika adalah prinsip hidup yang didasarkan frase, “lakukan segala sesuatu yang orang lain lakukan kepada dirimu” (terambil dari Matius 7) dan ternyata semua agama dan filsafat etis yang berbeda mempunyai pendapat etis yang sama, seperti: Judaisme, kekristenan, Budhisme, agama Islam, Hinduisme, konfusianisme. Jadi secara khusus boleh dikatakan, bahwa etika global dimengerti sebagai fenomena masyarakat Barat era pascamodern ini.
4. Moralisasi kehidupan masyarakat: dunia yang sedang hancur ini perlunya moralitas yang konkriti an praktis, bukan teoritis ideal saja. moralisasi yang dimaksudkan disini adalah penanaman nilai moralitas secara intensif pada setiap aspek kehidupan manusia. Tingginya penghragaan pada mora dan miralitas pada manusia membuat etka menjadi studi yang paling diminati dan berkembang pesat akhir akhir ini namun sayangnya manusia semakin immoral dalam hubunganya peradaban manusia. Penilaian positif pada bagian ini adalah atas fakta moralitas. Hal ini cocok dengan proyek golden rule dari etika Global yang mengkaji dasar bersama dari di antara agama-agama dan filsafat-filsafat etis di tengah perbedaan fundamental mereka demi kehidupan bermasyarkat. Kesadaran hakiki adalah, bahwa “Moralitas berarti melakukan yang sepatutnya pada umat manusia” karena “menjadi manusia adalah bermoral dan menjadi moral adalah menjadi manusia.”[8] Namun dalam hal ini semua sepakat bahwa “klaim etika global tidak dalam posisi untuk mengganti setiap sistem etika agama-agama; suplemen bukan suatu alternatif,”[9] di mana setiap sistem etika tersebut tetap harus terpelihara dan bukanlah relativisme etis. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa moralitas dalam etik global hanyalah teori etis bukan etika normatif. GAGASAN ‘ETIKA GLOBAL’ DALAM MENGHADAPI EKSES NEGATIF MASYARAKAT RELIGIUS
Etika Global dan Pergumulan Agama-Agama Dunia
Kita sudah melihat bahwa agama-agama mengalami pergumulan dan tantangan, baik dalam skala kecil dalam masyarakat-bangsa maupun skala yang lebih global dalam peradaban manusia. Dari banyak tantangan kedamaian yang dihadapi dunia, justru agamalah penyumbang permasalah yang paling tragis bagi kelanjutan peradaban manusia secara global. Walau sebenarnya bukan agamanya yang menjadi permasalahannya, tetapi, menurut saintis sosial adalah “sikap dan tingkah laku” orangnya yang menganggap diri lebih suci dari satu terhadap yang lain.[1] Secara definitif, jika oleh karena ajaran agamanya, maka agama tersebut sudah mengkhianati dirinya sendiri. Adalah fakta bahwa agama-agama yang berbeda, bahkan agama yang sama di dalam kebudayaan yang berbeda dapat saling menghancurkan manusia. Penderitaan dan kejahatan yang dilakukan atas nama agama bahkan atas nama Allah dilakukan sacara sadar, sistematis bahkan sering dilegalisir dengan segala macam alasan hukum yang berlaku. Jadi Jadi orang beragamalah yang menyebabkannya. Jadi orang beragamalah yang menyebabkannya. Problem rivalitas-superior agama adalah realitas masa kini, apalagi bila agama tersebut berada ditangan egoisme manusia dalam mengartikan agama. Prinsip partikularisme ekstrim dan menyingkirkan agama lain dan secara sistematuis berusahah melenyapkan agama lain dengan dakwah agresif. Hakekat agama bukanlah persaingan, apalagi saling berhadapan sebagai musuh. Agama adalah sahabat kemanusiaan bukan musuh kemanusiaan, namun beberapa ‘petualang’ keagamaan menjalankan eksklusivisasi agama di tengah masyarakat dan dunia. Keunikan agama masing masing bukan alasan untuk melenyapkan agama lain dengan alasan tugas agamisasi. Keunikan agama adalah fakta namun eksklusivisme agama adalah arogans dan dosa masyarakat, karena konsekuensi keunikan agama dapat berlaku secara wajar dan terhormat di dalam masyarakat beradab tanpa segala bentuk kekerasan. Muara dari semua itu adalah pentingnya etika tanggungjawab, dan etik global digagas karena situasi agresif dari cara dan prilaku orang keberagama di masyarakat..
Secara khusus gagasan ‘etika global’ terkait erat dengan ‘Parlemen agama-agama dunia,’ yang berdiri tahun 1883 di Amerika dan sekarang berkembang menjadi suatu dewan se dunia. Etik global diinisial oleh draft Hans Kung yang disampaikan pada pertemuan Paringatan ke 100 WPR di Chicago, 28 Agustus 1993, yang dikenal dengan dokumen A Declaration of religions of Global Ethic.[2] a declaration of religions of global ethic. Pertemuan Chicago ternyata tidak muncul dalam sekejab, karena sebelumnya sudah dilakukan beberapa kali pembicaraan pendahuluan, yang dikenal sebagai babak pra-sejarahnya. Khusus dalam rangka memperingati 50 tahun Universal Declaration of Human Rights dari DK-PBB (1948-1998), deklarasi etika global dipakai sebagai tambahan dan penguatan pada UDHR dalam usahanya untuk memipin ke arah dunia yang lebih baik. Bahkan pada ahun 1997 ditindak lanjuti oleh dewan interaksi yang diprakarsai UNESCO dan menelurkan 10 poin hak dan tanggjungjawab manusia atas kedamaian, dan keadilan dan serta kesamaan dalam 22 artikel tentang prinsip-prinsip fundamental, toleransi, kerjasama bagi kemanusiaan, dan dibacakan pada 28 Maret 1997 sebagai “Universal Declaration of Global Responsibilities” (UDGR) yang dibacakan pada 25-28 maret 1997. [3] Semuanya untuk hal keperlengkapan Universal Declaration for Global Ethic (UDGE) yang dicetuskan kemudian oleh seorang bernama Swidler. Inti proyektifnya adalah pentingnya dialog antara agama dan kebudayaan dikalangan manusia yang pluralistik.
Kembali kepada pidato pendahuluan Hans Kung, yang mengungkapkan bahwa etika global bukanlah ideologi global dan bukan juga satu agama global atau bukan nilai campuran yang sinkritistik dan juga bukan untuk mengganti etika individual agama-agama secara minimalis. Secara prinsipil etika global sedang menghadapi krisis dunia dalam segala bidang ini seperti: ekologi, sains, teknologi, ekonomi dan politik, agama, dll di mana manusia kemanusiaan manusia sedang terpuruk. Dalam etika global mengasumsikan pada dasarnya semua orang ingin diperlakukan secara baik dengan mengajarkan suatu prinsip kebaikan resiprok dan mutualistik di dalam masyarakat berdasarkan ajaran agama sendiri. Dalam deklarasi etik global menyebutkan prinsip pertama, “Tidak ada tatanan global yang baru tanpa etik global yang baru.” dan diikuti 4 komitmen kemanusiaan yang tidak terbatalkan (irrevocable): (1) budaya anti kekerasan dan menghormati kehidupan, (2) budaya solidaritas dan tatanan ekonomi yang baik, (3) budaya toleransi dan kehidupan yang benar, (4) kesaman hak dan kerekanan perempuan laki-laki. sebagai penutup diuraikan pentingnya transformasi hati nurani bagi manusia. Berdasarkan standar nilai-minimalis inilah manusia beragama harus berkomitmen dan sepakat melakukan kebaikan bersama di dalam semua lapangan kehidupan secara global, di bawah prinsip yang disebut “Golden Rule.” Prinsip umum yang terambil dari tradisi agama agama yang berbeda dan dipakai sebagai standar etis minimal dikalangan manusia secara global dan normatif. Dalam level etis itulah konsensus dicetuskan dalam perjanjian universal, untuk diberlakukan dalam segala lapangan kehidupan secara global. Konsensus tersebut sbb:
1. Kami saling bergantung. Masing-masing dari kami bergantung kepada ‘kebaikan’ semuanya, karenanya kami menghormati komunitas mahluk hidup, umat manusia, binatang, tumbuhan, dan bagi pemeliharaan bumi, udara, air dan tanah [dipersingkat].
2. Kami harus ‘memperlakukan orang lain’ sebagaimana kami ingin orang lain memperlakukan kami. Kami membuat komitmen untuk menghormati kehidupan dan martabat, individualitas dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa kecuali [dipersingkat].
3. Kami menganggap ‘semua manusia sebagai keluarga.’ Kami harus berusaha berbuat baik dan murah hati. …Tak seorangpun dapat dianggap dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, atau dieksploitasi dengan cara apapun [dipersingkat].
4. Kami mengikatkan diri kepada ‘budaya tanpa kekerasan,’ penghormatan, keadilan dan perdamaian. Kami tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh orang lain, meninggalkan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi perbedaan. Kami berjuang untuk sebuah ‘tatanan sosial dan ekonomi yang adil,’ di mana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih ‘potensi yang penuh sebagai manusia.’ Oleh karena itu, kami mengikatkan diri kepada etik global [dipersingkat].
5. Kami mengajak semua orang, beragama atau tidak, untuk melakukan hal yang sama.

Prinsip-prinsip “A Universal Declaration of a Global Ethic”
Ada jeda antara inisial menuju etika global dalam parleman agama agama sedunia dan deklarasi universalnya. Yang pertama diusulkan oleh Hans Kung dan diterjemahkan dan direvisi oleh banyak orang. Sedangkan yang kedua, dikenal dengan UDGE diajukan oleh draft Swidler dari Chicago university, di bawah judul Toward Universal Declaration of Global Ethic”. Dalam draft Swidler ini diungkapkan dasar situasional dan prinsip prinsip global etik secara teoritis namun gamblang. Pertama, penjelasan definitif agama secara niscaya bagi manusia dan fakta munculnya era baru dengan paradigmanya yang baru juga, yaitu “dialog global” dan kebutuhan akan etik global yang berdasarkan dasar etika yang sama yaitu ‘kaidah emas. Sejalan dengan Kung, Swidller juga, Secara panjang lebar memberi alasan bagi keabsahan golden rule sebagai fundamental etis dari tradisi agama-agama yang berbeda dan menjadi populer sampai kini. Deklarasi agama-agama dalam skop global, yang tidak mungkin diadakan dalam lapisan hukum (level kodifikasi hak-hak manusia) ataupun lapisan politis (level solusi dan usulan yang konkrit) tetapi pada lapisan etis (level ikatan nilai nilai, sikap-sikap fundamantal dan standar-standar bersama. Untuk itu pentingnya konsensus universal yang mencakup seluruh elemen masyarakat di dunia, karena “etik Global harus berkerja pada semua level: sarjana, pemimpin, dan akar rumput; kalau tidak maka akan tidak berhasil sama sekali.”[4]
UDGE diajukan lima presuposisi yang bekaitan dengan hak asazi manusia dari UDHR (1948) dan sekaligus poin-poin nya dijadikan ‘prinsip2 antara’, yaitu sepoluh poin hak dan kewajiban yang secara formal diajukan oleh setiap negara di muka bumi. Selanjutnya etika global dihasilkan dari lapisan etis yang sama dalam kehidupan umum dari orang yang beragama berbeda.
1. Because freedom is of the essence of being human, every person is free to exercise and develop every capacity, so long as it does not infringe on the rights of other persons or express a lack of due respect for things living or non-living.
2. Because of their inherent equal dignity, all humans should always be treated as ends, never as mere means.
3. Although humans have greater intrinsic value than non- humans, all such things, living and non-living, do possess intrinsic value simply because of their existence and, as such, are to be treated with due respect.
4. As humans necessarily seek ever more truth, so too they seek to unite themselves, that is, their "selves," with what they perceive as the good: in brief, they love.
5. Thus true human love is authentic self-love and other- love co-relatively linked in such a way that ultimately it is drawn to become all-inclusive.
6. Those who hold responsibility for others are obliged to help those for whom they hold responsibility.
7. Because all humans are equally entitled to hold their religion or belief--i.e., their explanation of the ultimate meaning of life and how to live accordingly--as true, every human's religion or belief should be granted its due freedom and respect.
8. In addition, dialogue--i.e., conversation whose primary aim is to learn from the other--is a necessary means whereby women and men learn to respect the other, ceaselessly to expand and deepen their own explanation of the meaning of life, and to develop an ever broadening consensus whereby men and women can live together on this globe in an authentically human manner.[5]
Adapun Standarisasi moral global dalam golden rule yang berdasarkan tradisi filsafat kemanusiaan dan agama tersebut seperti deskripsi di bawah:
“as with the Golden Rule, this loving/loved "self" needs to continue its natural expansion/ transcendence to embrace the community, nation, world, and cosmos” (tambahan poin 3),
2)“ the Golden Rule implies: If we were in serious difficulty wherein we could not help ourselves, we would want those who could help us to do so, even if they held no responsibility for us; therefore we should help others in serious difficulty who cannot help themselves, even though we hold no responsibility for them.
3) In addition, the Golden Rule implies: If we were in serious difficulty wherein we could not help ourselves, we would want those who could help us to do so, even if they held no responsibility for us; therefore we should help others in serious difficulty who cannot help themselves, even though we hold no responsibility for them” (tambahan point 5).

Spirit Ideologis di Sekitar Manifesto Etik Global: Penilaian Positif
1. Globalisme adalah jiwa globalisasi bagi etika global sekaligus konteks pemikiran. Prinsip globalisme berasal dari proses globalisasi dalam konteks perkotaan dan sivilisasi dalam konteks modern. Dalam masyarakat urban mengumulkan semua orang dari golongan yang sama naun satu etnik dan lain etinik dalam yang berdekatan. Namun kalau ditingkatkan menjadi meteripolitan dimana cakupan pluralitas dalam berbagai aspek semakin besar dan berbeda hodip dalam satu tempat yang maju seperti ibu kota suatu negara atau provinsi. Daeran dan kota yang kosmopolitas adlaha penduduk dunia yang meliputi semua darah di dunia ini dan berkumpul dalam kehidupan berdsama-sama tanpa terlalu memandang lagi nasionalisme apalagi etnikisme dan tribalisme. Semua kota besar, ibukota provinsi sedang menuju masyarakat internasional yang dinamakan kosmopolitanisme atau sedikitnya masyarakat nasional yang bergagasan metropolitan. Dalam hal ini etika global mendapat tempat yang positif, di mana prinsip kekinian dari visi ingin menunjukan satu hal saja, bahwa “global civilization is not a future possibility; it is present-day.”[6] Selanjutnya dapat dikatakan sebagai “proyek” yang melibatkan nilai nilai yang sama dari semua sistem etika agama-agama yang ada di dunia ini, seharusnya etika global dapat terwujud sesegera mungkin karena diikat oleh pluralisme kultural, agama dan intelektual yang ditenun bersama dengan peradaban global kontemporer yang bersifat dilogis; jadi etika global tidak muncul secara bertahap dan natural seperti beberapa proses peradaban lalu. Ini adalah keunikan sekaligus keuntungannya, kalau saja orang beragama ini sampai pada tahap kesadaran akan keprihatinan manusia yang tinggi maka etika global dapat diterapkan seketika. Prinsip peradaban manusia secara global selalu berisi pasangan tanggungjaab global dan etika global di dalam masyarakat global.
2. Sekularisme agama adalah motif dan orientasi gerakan etika global di mana keagamaan kita harus dilepaskan dari yang sakral. Keagamaan kita hanya bermain pada level profan, duniawi dan membuang segala yang iman agama yang tradisional. Memang dalam arti sempit sekularisme diarikan sebagai ideologi tanpa Allah atau anti agama dan menolak agama, namun level masyarakat agama direinterpretasikan atau diredefinisikan dalam term-term duniawi. Adapun jargon-jargonnya dalam kekristenan adalah dan terkait dengan jargon-jargonnya favoritnya, religionless Christianity, worldly holiness, man for others, spiritualitas baru, teologi sosial dll. Kalaupun term Kristen masih ada namun isinya memenag mengeampingkan dulu makna tradisional, tetapi bermakna sekularistik. Namun disini sekularisme teologis terbatas pada pemisahan antara kehidupan beragama (iman pribadi) dan kehidupan bersama (secara sosial-politik). Inilah yang oleh Ingrid shaeffer disebut “spiritualitas religius sosial”, yaitu suatu spiritualitas yang bersifat umum dan apriori berdasarkan ‘rasa keagamaan’ manusia terhadap Yang Transenden tersebut.[7] Hal ini tentu sejalan dengan ‘spiritualitas baru’ yang selama ini didengungkan oleh kaum oikumenis-pluralis. Tujuan umumnya adalah bertugas untuk bekerja bersama mencari solusi atas isu-isu bersama yang dihadapi umat manuisia, seperti: ancaman, nuklir, terorisme international, pembunuhan ras, pelanggaran HAM. krisis ekologis, kejahatan perang, terorisme, dan lingkungan, dll.
3. Pascamodernisme adalah tempat dan ruang (era zaman) yang garda yang meloloskan gagasan etika global dalam hal relativisme holistik, dekonstruksi atar semua golongan apapaun disunia ini, tanpa batas batas yang jelas dan kaku. Tidak boleh ada klaim sosial agama yang paling benar, karena semua sama hak benarnya di dalam masyarakan dan secara politis. Karena kebenaran relatif dan landasan epistemologis dari kebenaran adalah subyektif dan imaginatif. Disinilah etika global dikatakan sebagai anak zaman dari era pascamodern, di mana wacana pluralisme agama dipromosikan secara gencar dalam wacana antar agama dan studi studi sosial saja, walau ada yang kebeblasan sampai pada tingkat pendekatan kredal (iman). Secara konkrit oleh Swidler dalam “Toward UDGE” menyebatnya sebagai age of dialogue atau age of global dialogue sebagai kategori baru yang radikal.
Berdasarkan prinsip umum yang berhubungan dalam memaknai kehidupan sehingga dapat dideklarasikan secara layak dan dihasilkan konsensus bersama agar dapat dimengerti secara umum. Yaitu berdasarkan prinsip Golden rule dari etika adalah prinsip hidup yang didasarkan frase, “lakukan segala sesuatu yang orang lain lakukan kepada dirimu” (terambil dari Matius 7) dan ternyata semua agama dan filsafat etis yang berbeda mempunyai pendapat etis yang sama, seperti: Judaisme, kekristenan, Budhisme, agama Islam, Hinduisme, konfusianisme.
Jadi secara khusus boleh dikatakan, bahwa etika global dimengerti sebagai fenomena masyarakat Barat era pascamodern ini.
4. Moralisasi manusia moralisme tidak sama dengan moralitas, yang pertama abstrak dan tanpa agama, sedangkan yang kedua kongkrit berdasarkan studi etika yang pragmatis dari agama. Tingginya penghragaan pada mora dan miralitas pada manusia membuat etka menjadi studi yang paling diminati dan berkembang pesat akhir akhir ini. Penilaian positif pada bagian ini adalah atas fakta moralitas. Hal ini cocok dengan proyek golden rule dari etika Global yang mengkaji dasar bersama dari di antara agama-agama dan filsafat-filsafat etis di tengah perbedaan fundamental mereka demi kehidupan bermasyarkat. Dan hal hal tidak memadai lagi di dalam peradaban manusia modern yang majemuk, khususnya dalam kemunculan banyak krisis tidak berprikemanusiaan dan konflik international. Kesadaran hakiki adalah, bahwa “Moralitas berarti melakukan yang sepatutnya pada umat manusia” karena “menjadi manusia adalah bermoral dan menjadi moral adalah menjadi manusia.”[8]
Namun dalam hal ini semua sepakat bahwa “klaim etika global tidak dalam posisi untuk mengganti setiap sistem etika agama-agama; suplemen bukan suatu alternatif,”[9] di mana setiap sistem etika tersebut tetap harus terpelihara dan bukanlah relativisme etis. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa moralitas dalam etik global hanyalah teori etis bukan etika normatif.

4. Pluralisasi: adalam ibu yang menelurkan etika global adalah wacana pluralisme secara studi-studi sosial bukan studi dogmatis. Sehingga kecurigaan yang berlebihan terhadap usaha ini sebagai ekses negatif pluralisme agama dapat diantisipasi. Beberapa keberatan muncul karena dianggap kompromi dan tidak realistik, khususnya dalam usahanya dalam reinterpretasi kemutlakan agama. Memang pluralisme sekarang mengandung pengartian yang luas dan salah menyangkut, penjelasan pluralitas: 1) kenyataan yang plularistik dalam masyarakat, 2) wacana studi sosial atau studi antar agama (komparatif) dan 3) sebagai suatu pendekatan khusus dalam teologi religionum, di mana hakikat agama-agama disatukan dan disamakan secara relatif. Pegertian yang terakhir itulah yang menjadi akar-akar gagasan etika global di mana Hans Kung sebagai seorang pluralis dalam pendekatannya kepada orang lain, yang membedakannya dari dua pendekatan lain: inklusivisme dan eksklusivisme Pluralisme teologis memang menyatakan bahwa ada banyak agama yang sah secara perbedaan yang hakiki tetapi berasal dari satu Allah yang sama, seperti disarankan John Hick. Berdasarkan ide dasar pluralisme yang demikianlah masyarakat langsung dibawa dan dan didirikan dalam lapangan hidup level etis (praktis) berbeda dengan orientasi politis dan juridis yang selama ini diwacanakan kaum pluralis. Prinsip etikosentrisme dari tradisi akhirya agama-agama menghasilkan deklarasi etika universal.

6. Humanitarianisasi (injili) adalah prinsip fondasianal etika global. Sebaliknya kaum injili menolak pluralisme teologis namun memandang fakta humanitas suatu kenyataan hidup ini bahwa manusia itu berharga dan perlu dihargai martabatnya. Karena penderitaan dan kekacauan dalam dunia ini menyangkut manusia pentingnya pendekatan humanitarianistik, suatu sikap dan konsep yang menyayangi dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan yang berasal dari Tuhan. Masalah-masalah inilah yang dikenal juga dengan teodisi, masalah keadilan Allah. Humanitarianisme bukanlah samasekali dengan humanisme, yang bertendensi sekular, anti Ketuhanan dan melawan ide keagamaan dari etika global itu sendiri. Sejak dulu sudah ada yang dikategorikan humanis-agama (bahkan Kristen) dan selanjutnya bangkitnya orang orang masa kini yang disebut “humanis religius yang baru” yang berusaha mengatasi dua tegangan yang muncul secara kreatif dan non desktruktif dengan asumsi humanis, bahwa “kemanusiaan (humanity) tidak dapat dimengerti tanpa kaitan dengan Allah dan Allah juga tidak dapat dimengerti kecuali melalui lensa pemikiran pengalaman manusia.”[10] Kalaupun atas istilah “humanisme”, kaum injili harus belajar secara positif juga, tanpa kritik yang berlebihan melulu terhadap asumsi ideologisnya. Kontennya adalah keprihatinan kemanusiaan, maka inilah yang saya maksudkan dengan ‘humanitarianisme’ yang pada dasarnya diperjuangkan juga oleh kaum injili. Konon para sarjana non injilipun mengakui jalannya tidak mudah juga, karena kebanyakan organisasi antaragama menghadapi kecemasan dan ketakutan kompromi pada sisi internal (jemaat dan komunitas) dan sisi eksternal (pemimpin masyarakat umum) takut akan menyebabkan kontroversi dan perpecahan, ketika mencoba membangun spirit kerjasama dan kesatuan tersebut.[11]

PERAN MASYARAKAT ETIS-GLOBAL DALAM PEMBANGUNAN LOKAL:
SUATU PENGKONSEPAN
Kondisi Masyarakat dalam Kota Modern
Berbeda dengan masyarakat tradisional-pedesaan yang cenderung monolitik dan homogen, di mana agama menjalankan baik fungsinya sebagai pemersatu, melalui penguatan pada nilai-nilai adat istiadat dll, di dalam masyarakat perkotaan yang pluralistik agama justru mungkin saja menurun nilai pemersatunya dari segi tersebut, namun harus dicari jalan keluar, misalnya kesatuan nilai-nilai kehidupan yang lebih besar lagi berdasarkan solidaritas dan persaudaraan umat manusia. Dua orang sosiologis masa lalu, Tonnies dan Durkheim membantu kita memahami sosiologi perkotaan dalam dua pengertian kontras.[12] Tonnies melihatnya dengan membandingkan dengan sosiologi pedesaan Eropa, di mana ada dua macam kehidupan social: 1) gemmenschaft (karakter desa tradisional) dan gesselshaft (karakter kota modern). Sebagai karakter gaya hidup kota modern dengan kualitas: individualisme, impersonal darena relasi2 dan perhatian kemanusiaan yang telah memudar dibandingkan gesselschaft. Durkhem secara analogis melengkapi dengan dua term berlawanan juga: pertama, ”solidaritas organik” dalam perkotaan yang lebih menekankan tujuan yang sama dan kebersamaan mutualistik dari fungsi-fungsi organisme; kedua “solidaritas mekanik” yang lebih menekankan peran-peran antar keluarga yang tetap dalam prinsip komunalisme tertentu. Namun kedua orang ini membawa kita pada satu persaman bahwa perkotaan adalah gaya hidup masyarakat dengan kualitas plural dan individual yang oleh Georg Simmel telah disoroti dari sudut psikologi-sosialnya dengan sebutan ‘mentalitas metropolis’ dalam ciri-ciri khas seperti: proses diskriminasi, lebih intelektual, spesialis, apatis, dan akhirnya jatuh pada sistem mesin juga.[13] Yang lain menambahkan ciri khas “impersonal” pelayanan publik yang sedikit banyak mengandung kepositifan juga kalau dipakai pada tempat yang sewajarnya, khususnya dalam hal impersonalisasi sosial tingkat keberagamaan anggota masyarakat. Sisi ini penting dalam rangka krisis prikemanusiaan dan kelangsungan peradaban manusia yang ditimbulkan ekses negatif salah satu agama. [Sedangkan kenegatifannya, secara umum akan membuat manusia teraliensasi di dalam komunitasnya].
Disinilah pentingnya konsep solidaritas yang mencakup seluruh golongan manusia, seperti yang ditawarkan dalam etika global. Dalam keadaan demikianlah, umat beragama yang berlainan di dalam satu kota, apalagi ibukota dapat melangsungkan pembangunan di segala bidang dengan aman adil dam makmur. Masyarakat kota memang pada awalnya adalah bersifat desa primitif juga dan kemudian mengalami urbanisasi dan modernisasi dan sekularisasi. Kota terbentuk dai berbagai macam aspek, dengan segala macam peradaban modern yang mendukung serta filsafat hidup yang muncul seperti: individualisme dan sekularisme bahkan globalisme. Setiap ibu kota setempat mempunyai 3 karakter niscaya pertumbuhan metropolitan: 1) perluasan demografis akibat peningkatan populasi, 2) keharusan penambahan teknologis, khususnya alat transportasi akibat banyaknya orang keluar, 3) perluasan ekonomis dalam hal pemerataan pendapatan untuk kesejahteraan warganya.[14] Bahkan lebih lagi, kota-kota sangat besar (megapolitan) di dunia sedang bergerak ke arah apa yang disebut “kosmopolitan,” yaitu kota “internasional” dari segala arah dunia, yang lebih bersifat konseptual daripada geografis.
Dalam hal ini, secara sosial kemasyarakatan tidak terlalu berarti membicarakan agama siapakah yang paling benar dengan cara bagaimanapun, karena secara wajar bukan pada tempatnya. Polemik yang ditimbulkan lebih banyak daripada kebaikannya bagi diri kita sendiri. Secara sosiologis, tidak ada salahnya kita mengingat kembali “perumpamaan cincin” yang pernah diajukan Lessing. Ketiganya tidak ada bedanya secara fisik, nyaris sama, hanya sikap dan sifat baiklah yang menentukan siapa pewaris cincin yang asli. Secara sosial, cerita ini dapat berlaku juga di masyarakat plural. Secara umum, klaim agama yang baik dan paling benar harus terbukti di dalam perjalanan hidup sehari hari. Marilah kita sama-sama berbuat baik sebagai bukti atas klaim bahwa agama kita yang paling benar. Tentunya saya tidak menyarankan bermuka dua atau tidak konsisten bahkan berkhianat terhadap iman, sejak diakui bahwa iman adalah masalah privasi sedangkan sisi ‘agama’ adalah masalah sosial-politik dan perlu deprivatisasi agama di dalam pegaulan masyarakat luas.
Konsep penting untuk sebuah kota modern yang bersifat metropolitan bahkan sudah bersifat kosmopolitan adalah karakter dan sikap waga negaranya yang sangat beradab. Didukung dengan tegaknya demokrasi maka akan muncul apa yang disebut “masyarakat sipil” tentunya harus di barengi dengan supermasi hukum agar tidak menjadi anarkhi dan masyarakat menjadi chaos. Dalam karakteristik dewasa seperti ini menjadikan Bandung kondusif sebagai “kota untuk semua.” Gagasan The City for All merupakan gagasan modern yang mulia, dengan prinsip “menghargai perbedaan dan bekerja di dalam kepelbagaian” sebagai suatu proses di dalam perkembangan sosial.[15] Dalam konsep “membedakan” adalah ‘menjadikan beda dalam proses perkembangan atau pertumbuhan,’ ‘mengenai perbedaan antara’ atau ‘memisahkan antara’; sedangkan mempelbagaikan bermakna ‘membuat jamak,’ memvariasi, memodifikasi, melindungi terhadap kehilangan.’[16] Dalam prinsip tersebut warga kota tersebut menghimpun kekuatannya dalam hal bekerja sama dengan kepelbagaian dan konflik dalam konteks kebudayaan manusia, di mana partisipasi dan partnership dalam proses perkembangan sosial kota, misalnya: perumahan, transportasi, sanitasi, pendidikan, lingkungan pekerjaan, kesejahteraan keamanan, serta menghadapi kejahatan, kemiskinan, bencana, dll.
Situasi kebungungan akhir-akhir inilah, di mana kita kehilangan rasa kebangsaannya, keindonesiaannya kemanusiaanya, manusia kehilangan ciri khas esensial sebagai manusia dan menurunkan dirinya menjadi non manusia saja (tanaman, hewan bahkan mesin). Celakanya prilaku keberagamaan manusia dijadikan alat atas nama Allah dan egoisme keberagamaan untuk menyangkali kemanusiaanya yang hakiki berdasarkan ketuga faktor kemanusiaan yang beradab tersebut. Keagamaan dan perkawanan dan rasionalitas manusia adalah tolak ukur untuk hidup sebagai manusia sebagai suatu bangsa yang beragama dan bermasyarakat. Masyarakat agama mungkin saja menolak sekularisme, tetapi pada masyarakat kota yang modern penting apa yang dinamakan “sekularisasi” kota, setidaknya dalam dua dimensi dunia: 1) desakralisasi politik dan dekonsekrasi nilai-nilai [masyarakat].[17] Kedua hal ini haris dioperasikan dalam hal menghilangkan ekses negatif keberagamaan manusia dalam kehidupan sosialnya tanpa perlu menyangkali nilai-nilai individual keagamaan (hal iman) yang niscaya. selanjutnya dalam hubungan hubungan dengan keberagaman manusia di masyarakat kota. Selanjutnya, pembentukan kota sekular dan gaya modern tersebut dengan dua prinsip global: anonimitas dan mobilitas di dalam proses sosial. Tanpa harus mengikuti semua (jalan) pikiran Cox, yang kelak teridentifikasi sebagai radikalisme teologis, saya memahami hal tersebut di dalam akomodasi sosial yang prinsipnya tetap mempertahankan identitas dalam toleransi masyarakat pluralistik.

Implementasi “Demi kemanusiaan” Global dalam Resolusi Lokal
Secara keseluruhan deklarasi etika global adalah bagi umat “manusia agar diperlakukan secara manusiawi. Prinsip “demi kemanusiaan” ini menghadirkan batas-batas etik yang minimal dan dimiliki bersama oleh semua agama dunia untuk menjadikan etika sebagai milik bersama. Jadi etika global adalah cara beragama anggota masyarakat global dalam level etis yang berdasarkan tradisi agama-agama masing masing yang berbeda dalam menangani krisis kemanusiaan. Namun prinsip global ini mengakar dalam lokal, muncul lagi peristiwa memilukan umat manusia, khususnya apa yang disebut peristiwa WTC 11 Sept ‘01 dan bom Bali 1 & 2 dan dua peristiwa hotel J.W. Marriot dan kedubes Australia (bahkan disinyalir bergerak ke Bandung juga) menjadi catatan pedih umat manusia dalam dunia beradab ini. Hal ini menyiratkan bertapa susahnya kesadaran hati manusia dipulihkan, apalagi kalau sudah dendam membara akibat perbedaan agama dan permusuhan ideologis. Beberapa orang mungkin menyatakan bahwa orang itu bukanlah orang beragama. Namun kita tidak dapat membuang fakta dan menutup mata bahwa orang itu melakukan atas nama agam dan dengan kebanggan jargon agama. Mengapa mitos ini terus dpelihara oleh masyarakat maju, apakah kita malu mengakui bahwa agama juga dapat berekses negatif kalau tidak dipahami secara komprehensif dalam kaitanya dengan masuarakat luas. Sudah waktunya kemasyarakat agama berpikir jernih dalam konteks pluralitas dan bahkan lebih dalam lagi pada wacana pluralisme yang lebih kritis dan intelektual agar barbarisme atas nama agama dapat ditolak.
Gagasan global tanpa implementasi dan aplikasi lokal menjadi suatu yang tidak berguna hanya sebagai konsep pajangan yang mati dan tidak berbuah. Wacana global mengimplikasikan adanya permasalahan lokal, dan permasalahan likal pasti ada solusi globalnya dalam tatanan konseptual. konsep2 demi kemanusiaan harus dilihat sebagai solusi alternatif pada masyarakat lokal, misalnya suatu negara atau kota. Kalau tidak akan menjadi ide yang kosong saja, sementara konflik manusia semakin menggila. Kaum beragama menyadari pentingnya hidup damai demi kemanusiaan secara umum, yang telah disediakan oleh prinsip etika global. Bukankah saatnya kita mentransmisikan etika global ini dari tingkat konsep intelektual pada lokal, sebagai suatu yang lebih penting. Karena itu, lokalitas suatu bangsa dan etnik dan daerah lokalitas suatu bangsa atau kita secara khusus pada situasi urbanisasi dan internasionalisasi dan terus bergerak ke arah kosmopolitanisme. Globalisme adalah satu lokalitas yang tanpa batas yang definitif lagi. Semuanya bersatu bahkan bercampur dalam masyarakat kosmopolitan dimana semua orang adalah warga negara dunia. Globalisasi selalu disuntik dengan slogan “think globally act locally” namun juga bukan hanya slogan, tetapi memang harus diaplikasikan dalam monteks wilayah setempat, sebab kalau tidak akan menjadi sebuah utopia saja. Dan selain act globally juga boleh juga, tetapi terlalu muluk muluk sehingga pasti kempali pada konsep konsep lagi atau gagasan-gagasan saja. Namun secara praktis, lokalitas dari komunitas dan wilayah harus berkarekteristik universal juga mengingat urbanisasi dari segala penjuru dan aspek kehidupan masuk ke dalam daerah tertentu dan berkembang dalam konteks sivilitas. Bahkan bebarapa kota besar yang dikatakan metropolitaan berkembang menjadi kosmopolitan, karena pengaruh globalisasi, tidak terkecuali kelak kota Bandung yang modern akan membuat Bandung tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dapat diakses semua golongan orang dan kosmopolitanisme membuat Bandung adalah kota dunia juga, Inilah kota international karena pengaruh globalisme.

Peran Masyarakat Beragama dalam Pembangunan Kota “BERMARTABAT”
Setelah itu saya merenung kembali, bagaimana kita sebagai warga kota Bandung, harus bersama-sama menbangun kota ini dan menuju slogan “BERMARTABAT” (BERsih, MAkmuR, TAat BERsahabat). Demi kebersaman kita bersama harus saling menahan diri dan saling menerima perbedaan dalam di dalam batas kewajaran seperti tidak menipu, tidak memaksa, tidak mengejek, tidak merusak dan tidak menghina dll. Dengan demikian kita dapat mengatasi masalah kemanuisaan secara bersama-sama tanpa saling mencurigai lalu saling bahu-membahu menghadapi masalah-masalah sosial kota dengan cara-cara damai, persuasif dalam kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Persaudaraan sesama umat manusia adalah imperatif bagi makhluk agama dan dan makhluk bermasyarakat seperti manusia, khususnya dalam peradaban manusia modern ini. Dengan demikian ekses politisasi agama maupun agamisasi politik yang bersifat manipulatif bisa dikurangi atau mungkin dihilangkan. Kota modern yang demokratis harus menghindari apa yang disebut dengan konsep “theopolis” baik oleh karena mayoritas maupun pengaruh kekuasaan yang dimunculkan dalam ‘kota agama,’ meski mayoritasnya dan dikuasai orang beragama tertentu. Kemudian agama yang murni seharusnya tidak dipolitisir karena sejarah telah membuktikan, sintesis demikian telah merusak agama dan akhirnya merusak tatanan masyarakat itu sendiri. [18]
Slogan kota Bandung yang sebelumnyapun (BERHIBER: BERsih, HIjau dan BERkembang ) bermakna sangat mendalam dalam perspektif kemanusiaan dan persaudaraan. Melihat keempat kata tadi, kita langsung berefleksi ke masa lalu dimana sebutan “Parijs van Java” atau sebutal lain sebagai “kota kembang” Jadi tidak sia-sialah para pemimpin Bandung masa kini membuat slogan tersebut dan selanjutnya layaklah kita menyebut Bandung adalah kota humanistik, karena tidak membawa embel-embel khusus yang bersifat enik, agama, dan golongan tertentu. Sebagai sebuah kota wisatawan dari manca negara, khususnya dari Jakarta pada hari libur (khususnya week end) Bandung adalah kota persaudaraan, pergaulan dan damai, di mana semua orang dapat menikmatinya makanan, pakaian, jalan-jalan dan alamnya dengan biaya terjangkau. Sebagai salah satu kota besar keempat(?) di Indonesia, kota Bandung berwilayah cukup besar dan berpenduduk majemuk dan terus terbuka luas bagi semua orang. Sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat kota Bandung adalah wilayah muara dari proses urbanisasi seluruh wilayah Jawa barat bahkan dari luar Pulau Jawa. Khususnya sebagai kota pendidikan, banyak pencari ilmu pada perguruan tinggi terpandang. Sebagai ibukota Jabar akan menjadi pusat ekonom, politik dll. Bahkan bagi dunia namanya sangat ‘harum’ khususnya banyak peristiwa international diadakan di kota ini. Memang layak kalau disebut Bandung sebagai suatu kota ‘jasa’[19] untuk semua orang.
Berkaitan dengan pembangunan bangsa, memang negara membunyai tugas sebagai pensejahtera warganya, seperti misalnya amanat pembukaan UUD ’45. Tentunya dalam hal ini tidak lepas dari pada kerjasama antar warganegaranya yang secara niscaya adalah makhluk agama, makhluk sosial dan makhluk rasional. Ini adalah dasar makhluk rasional sekaligus fondasi pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya dalam kebangsaan, persaudaraan lokal Mengingat masa lalu di mana orde sebelumnya yang lebih mendahulukan ‘pembangunan negara’ (state building) daripada pembangunan bangsa/rakyat (nation bulding). Tidak ada artinya, jika pemerintahan manapun, hanya berbicara umum dan global tentang angka-angka kemajuan, investasi atau persentasi inflasi bila tidak dirasakan leh rakyat biasa. Artinya ketika dikatakan inflasi menurut berapa persen, lalu investasi naik lajur pertumbuhan naik berapa persen tetapi rakya menderita kemiskinan dan rakyat tidak otomatis dapat menjangkau harga beras secara adil. Inilah yang saya maksudkan bagi pemerintah Bandung people building lebih penting daripada city building per se, agar manfaat pembangunan dirasakan secara riil dan dalam kesejahteraan hidup sehari-hari. Ini adalah ‘suara kenabian’ gereja yang bersifat moral dan persuasif demi kesejahteraan penduduk dan kotanya, mengingat, prinsip teologi injili harus juga menekankan pentingnya keterlibatan orang Kristen dalam masyarakat, seperti yang dimaksudkan John Stott dengan frase “doktrin lebih genap [lengkap]” yang menyangkut sisi keprihatinan sosial Kristen yang alkitabiah. Jadi suara kenabian sama sekali bukan suara politik, karena pada prinsipnya institusi gereja tidak boleh djadikan Parpol dan tidak berpretensi menjadi partisan partai tertentu. Kadi karena gereja bukan kelompok akso-politis, maka hubungan gereja dan pemerinah kota adalah dalam hal “mengajar tetapi bukan intervensi”[20] sesuatu yang bersifat moral bukan kekuasaan, yang aksinya bukan di dalam tetapi dari luar.
Pemerintah daerah misalnya sebagai institusi sosial kemasyarakatan dengan perangkat legal dan bersifat peruasif dan dalam batas-batas konstitusional dan nasional dapat bersifat koersif untuk menjamin kedamaian setiap golongan masyarakat tanpa diskriminasi, ini bukan berarti militerisme yang melawan prinsip2 masyarakat sipil dan supermasi hukum. Kekerasan (coercion) itu sendiri perlu di dalam masyarakat di dalam batas2 legalitas, karena tidak percuma pemerintah memegang pedang, Kalau pemerintah yang memegang mandat konstitusi tidak menanggulangi situasi anarkisme sesuai hukum dengan alasan takut dituduh melanggar HAM, maka ia akan jatuh pada pelanggaran HAM juga. Sebenarnya dalam tingkat pimpinan pemerintahan sudah ada kesadaran untuk menjadikan Bandung sebagai kota dengan hidup damai dan aman, sejahtera dalam segala bidang yang melampaui perbedaan agama, ras, suku antar golongan dan keturunan. Dengan tekad ini perbedaan-perbedaan yang ada dapat didamaikan agar tidak menjadi ketegangan dan konflik yang berkepanjangan serta membuat disintegrasi. Di sinilah slogan Bandung sebagai kota “BERMARTABAT” (atau “BERHIBER”) dipertaruhkan. Dalam slogan ini tertanam nilai-nilai kebersatuan dan kebersamaan berdasarkan esensi agama yang luhur dari religiusitas sosial, yaitu: kasih persaudaraan, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Tentunya usaha ini bukan suatu yang mudah dan sekejab mata
Pentingnya prinsip demokrasi sebagai filsafat hidup manusia di dalam pentingnya prinsip demokrasi sebagai filsafat hidup manusia yang bermasyarakat majemuk dan tidak hanya harus sebagai sistem politik praktis dan prosedur pemerintahan dengan segala agenda kekuasannya dan kekerasannya. Nilai nilai demokrasi yang menjujung tinggi hakekat umat manusia dengan karakternya, inspirasinya dan motivasinya dalam lingkungan kemerdekaan, persamaan hak, keutamaan akal dan ketidakpercayaan atas akumulasi kekuasaan dan kesejahteraan Sebagai pandangan optimis tentang manusia di dalam masyarakat plural terutama dalam agama-agama dan hak yang sama bagi seluruh warga negara. Dalam demokrasi peran masyarakat dalam pembangunan bangsa sangat penting dan harus diseimbangkan dengan peran pemerintah sebagai fasilitator pemangunan. Inilah, hakikat people power yang selama ini hanya dimengerti secara negatif sebagai politik praktis yang revolusioner, tetapi juga positif didalam huungan sosial dan perababan juga, yaitu suatu pertisipasi warga kota sebagai kekuatan positif dalam pembangunan kota. Jadi keikutsertaan rakyat dalam pembangunan dan demi kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian kota, sehingga prinsip esensial demokrasi tidak hilang dari panggung politik, yang disebabkan kepentingan kekuasaan semata, bukan kesejahteraan dan kedamaian rakyat. Dalam hal ini demokrasi melawan dirinya sendiri dan mengalami kemunduran serta tidak dipercaya lagi oleh masyarakat. Demokrasi dan people power yang positif, pada level lokal yang multi etnik dan multi agama dalam kesatuan perjuangan komunitas.[21] Dengan segala kerumitannya sebuah kota akan maju atau kacau tergantung warga kotanya sendiri, bukan hanya pemerintahnya saja.
KESIMPULAN
Konsep keberagamaan dan masyarakat yang harus ‘bermain’ dalam tataran studi-studi sosial (social studies), di mana relasi-relasi spesial antara makhluk sosial tersebut difokuskan pada elemen-elemen keagamaannya. Ternyata dalam masyarakat modernpun, agama masih menjadi faktor penting dalam masyarakat yang memicu konflik antar umat beragama. Sosiologi agama melihat agama dapat dijadikan pemersatu masyarakat, karena aspek aspek kebaikan agama adalah tujuan masyarakat yang adil dan sejahtera dalam hubungan antar manusia. Dalam situasi plural tersebut umat beragama yang pluralistik adalanya pengalaman pengalaman keagamaan bersama khususnya sebagai umat mencari kebaikan manusia di tengah2 dunia. Dari perspektif fenomenologi agama, kita berusaha membandingkan agama-agama yang ada berdasarkan hal-hal eksternal, misalnya dalam bentuk-bentuk dan perasaan agama yang sama untuk pencarian hal hal yang dapat dipakai dalam pengalaman bersama di antara umat beragama yang berbeda. Berdasarkan hal ini kita mengurangi konflik dengan toleransi eksternal. Yang perlu diingat di sini adalah pengalaman bersama bukanlah pengalaman yang sama dalam arti satu, yang dapat menjadi sinkritisme atau universalisme keselamatan. Kaum injili berposisi partikularisme keselamatan di dalam keunikan Kristus harus memahami keberadaannya dalam dunia dengan pengertian teologis yang lebih penuh.
Etika global adalah suatu prinsip-prinsip universal dalam hak hak asasi manusia untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur di dalam dunia yang pluralistik ini. Gagasan etika global memakai kedua pendekatan ilmu-ilmu sosial di atas: sosiologi agama dan fenomenologi agama, yang bermain dalam level eksternal agama. Etika global mendeklarasikan nilai-nilai etik minimal dan kebaikan moral kemanusian yang berasal dari beragam tradisi2 agama yang ada, khususnya prinsip golden rule dari tiap-tiap agama dunia sebagai titik temu sosial dalam forum dialog antar agama. Dengan kecenderungan (tuduhan) sinkritisme dan universalisme Kristen, kaum injili menyadari Golden rule dari etika global lebih bersifat ‘alternatif’ saja di dalam masyarakat plural, karena di dalamnya mengandung prinsip etis kemanusiaan dari agama-agama dunia, termasuk agama Kristen. Atau setidaknya menjadi etika ‘suplemen’ di dalam masyarakat dan dunia yang majemuk ini dalam rangka mengatasi krisis kemanusiaan dalam segala bidang akibat ekses negatif agama. Secara khusus, kekristenan injili patut menghagai usaha-usaha perdamaian dari segenap agama-agama yang ada di muka bumi ini, walau namun tidak dalam membandingkan hal-hal kredal dari perspektif teologi imani. Inilah saatnya kita memanggil kaum beragama untuk memberi dampak mulia dan positif dari religi itu sendiri dalam pembangunan masyarakat secara umum. Teologi injili bersifat teosentris(dari, oleh dan untuk Allah saja) artinya kita tidak bertanggung jawab kepada akal manusia dan penderitaan manusia tetapi kepada Allah saja. Namun demikian perjuangan humanitas adalah mandat sosial-budaya, (disamping mandat spiritual) yang layak sekali dilakukan dalam konteks wahyu dan anugerah umum. Berdasarkan mandat ilahi inilah kaum injili harus ikut berjuang demi kemanusiaan di dalam prinsip humanitarianisme yang alkitabiah, sehingga tidak jatuh ke dalam humanisme sekular. Dengan demikian gereja-gereja Injili dapat membantu dalam konteks tugas dakonia dan pembinaan warga gereja, bukan saja dalam keprihatinan dan aksi sosial tetapi juga menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan bangsa berdasarkan: kebebasan, keadilan dan persamaan hak dan kewajiban.
[1] Johan Galtung, “ Challenge of Religion: Trancendent or Immanent, hard or soft” dalam True to This World: Global Challenges and Transforming Faith, Alan race & Roger Williamson, ed. (Oxford: One World, 1995), hl. 66.
[2] Bagi yang ingin memperolah gambaran keseluruhan tentang Council Perliament World Religions dan dokumen Declaration Toward Global Ethic ini dapat dilihat http://cpwr.org/who/who.html
[3] lih. juga Hans Kung dan Helmut Schmidt, ed., A Global Ethic and Human Responsibility: Two Declaration, (London: SCM Press, 1998), hl. 46-48.
[4] Demikian Leonard Swidler pada akhir (kesimpulan) draft papernya “Toward A Universal Declaration of Global Ethic” [online]
[5] Pembaca dapat melihat dalam deklarasi formal “A Universal Declaration Global ethic” [on line]
[6] Ingrid H. Shafer dalam paper yang yang disampaikan dalam merayakan semangat menuju etik global University of California at Berkeley, 20, 21 Juni 1955 dengan judul “Philosophical and Foundations of A Global Ethic” [on line]
[7] Inggrid H. Shafer, “Dialogue, Spirituality, Love” electronic version copyright, Center for Global Ethic [online] lih juga tulisannya dalam Journal of Ecumenical Studies: Global Ethic, volume 42 no 3 (Summer 2007),
[8] Michael Traber, Conclusion: An Ethics of Communiction worthy of Human Being” dalam Communication Ethics and Universal Values , ed Clifford Christians , Michael Traber (Thousand Oaks, London: Sage ublications Inc., 1997), hl. 327 dst.
[9]Sallie King, “A Global Ethic in the Light of Comparative Religious Ethics” dalam Exploration in Global Ethics, hl. 124.
[10]Untuk ini lih. Gregory Wolf, The New Religious Humanist: A Raeder (New York: Free Press, 1997), hl. xv.
[11] Bruce Grelle, “Scholarship and Citizenship: Comparative Religious Ethicists as a Public” dalam Explorations in Global Ethics: Comparative Religious Ethics & Interreligious Dialogue, Sumner Twiss and Bruce Grelle (Oxford: Westview Press, 2000), hl. 51.
[12]Lih. James L. Spates dan John J. Macionis, Cities: An Abridgement of The Sociology of Cities (2nd ed. tt: Wipft & Stock Pub., 1996), hl. 102-105
[13]Lih. ibid. hl. 106,107
[14]Edward C. Banfield, The Unheavenly City: The Nature and Future of Our Urban Crisis (Boston: Little Brown and Co., 1970), hl. 23 dst.
[15]Lih. Joe Beall, ed., A City For All: Valuing Difference & Working with Diversity (London/New Jersey: Zed Book Inc. 1997).
[16]Ibid., hl. 8, 9.
[17]Harvey Cox, The Secular City (New York: McMillan Co. 1971), hl. 19-32.
[18]Harvey M Conn, “The Kingdom of God and The City of Man: A History of the City/Church Relation” dalam Discipling The City : Acomprehensive Approach to Urban Ministry, Rogers Greenway ed.( Eugene: Wipf and stock, 1992), hl. 250-256.
[19]Sebutan kota jasa adalah hal yang menonjol juga untuk Bandung. Untuk lengkapnya kungjungilah http://www.bandung.co.id/

[20]Lih. Rogers S. Greenway & Timothy M. Morsma, Cities: Mission New Frontier (Grand Rapids: Baker Book, 1989), hl. 217, berkaitan dengan itu, selanjutnya Morsma mengingatkan gereja untuk mewaspadai ‘suap’ (218).
[21] Lih Judith E. Desena, People Power: Grass Roots Politics and Race Relations (Lanham: University Press of America, 1999), hl. viii.
catatan: draft belum selesai untuk magazine ini
togardo siburian
dosen etika sospol STT Bandung

Tidak ada komentar: